Aulanews.id – Berdirinya sebuah pesantren di Dusun Lumpur, Desa Limbangan, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah oleh KH Idris bin KH Ahmad Sholeh pada 1874 menjadi perhatian tersendiri bagi kolonial Belanda saat itu. Keberadaan pesantren, tak terkecuali di Lumpur memang dianggap ancaman bagi eksistensi kolonialisme Hindia-Belanda.
Gus Najih menceritakan, pesantren ini sudah lama berdiri meski penamaanya baru tahun 1978. Kisahnya, lokasi pesantren yang dulu bernama Desa Jatisari dulunya merupakan tanah berlumpur. Kiai Idris dibantu dua orang anak dari saudara sepupunya, Kiai Mas’ud. Dua anak Kiai Mas’ud tersebut bernama Kiai Dahlan dan Kiai Dawud. Selain ‘alim, dua orang tersebut dianugerahi suara merdu yang mampu menyihir siapa pun yang mendengarnya.
Di pesantren yang saat ini bernama Yanbu’ul Ulum tersebut, masyarakat dan jamaah masjid sering dibuat terperangah oleh suara Kiai Dahlan saat menjadi imam shalat. Sedangkan Kiai Dawud kerap membuat masyarakat terperanjat pergi ke masjid dengan suara merdu adzannya.
Pria yang pernah menjadi Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Suriah melanjutkan, saking merdu alunan suara Kiai Dahlan, Kiai Amir sampai lupa membaca Surat Al-Fatihah. Sejak saat itulah Kiai Dahlan dilarang Kiai Amir untuk mengimami shalat karena alasan tersebut.
“Saya ini seorang kiai, tapi mendengar suaramu, saya sampai lupa membaca Surat Al-Fatihah. Maka mulai sekarang, saya mengharamkan kamu menjadi imam,” kisahnya menirukan dawuh Kiai Amir.
Hal ini berdampak pada terlupakannya salah satu rukun shalat, yakni membaca Surat Al-Fatihah dan makmum menjadi rubuh gedhang. Kiai Amir tidak mau masyarakat dan jamaah masjid ikut tidak sah shalatnya, maka Kiai Amir melarang Kiai Dahlan menjadi imam shalat.