Tampilnya Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 saat itu, membuat posisi pesantren menjadi naik daun, dan kembali diperbincangkan dalam relasinya dengan kekuasaan dan negara. Hal ini mudah dipahami, karena Gus Dur adalah produk asli pesantren sebagaimana diketahui oleh khalayak umum. Bahkan, sebagian besar waktu Gus Dur dihabiskan di beberapa pesantren-pesantren NU terkemuka; berpindah dari satu pesantren kepesantren yang lain (sowan pada kiai-kiai).
Karena itu, nilai-nilai tradisi pesantren amat kental mewarnai perilakunya bahkan ketika sudah menjadi Presiden pun. Hal ini dapat dilihat, paling tidak, dari penekanan dan kebijaksanaan pembangunannya yang berorientasi pada kerakyatan yang sarat dengan muatan nilai-nilai kepesantrenan.
Maka tidak heran misalnya, jika salah satu persyaratan menjadi Kabinet Persatuan Nasional misalnya, adalah kejujuran dan kesederhanaan. Dua nilai tersebut tak pelak merupakan hasil adopsi dari nilai-nilai dan kultur yang berkembang di dunia pesantren.
Sekali lagi, pandangan dunia yang membentuk pemikiran Gus Dur tak lain adalah pandangan dunia pesantren. Dengan seluruh pengembaraan intelektual yang dialami, sejak dari pesantren-pesantren, Timur Tengah Al-Azhar hingga kuliah di Baghdad, ia tetap tak bisa meninggalkan rumahnya, tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren.
Sudah barang tentu, pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara itu, pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikiran Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya.