Pencairan salju abadi itu tak berhenti. Pada 2015-2022, BMKG mencatat ketebalan es mencair 2,5 meter per tahun.
Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada 2022 berada di angka 0,23 km persegi atau turun sekitar 15% persen dari luasan pada Juli 2021 yaitu 0,27 km persegi.
“Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya,” kata Dwikorita.
Dampak salju di Puncak Jaya mencair tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya tidak hanya menghilangkan fenomena langka itu.
Berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem sekitar salju abadi juga terancam punah.
“Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global,” ungkap Dwikorita.
Oleh sebab itu, menurutnya penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
Misalnya, mengurangi emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Selain itu, kerjasama lintas sektor dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia juga perlu terus diperkuat.
Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, merupakan bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan.
Salju abadi di Puncak Jaya Dilansir dari Kompas.com (12/3/2022), fenomena salju di Puncak Jaya, Papua merupakan hal yang unik karena Indonesia tidak memiliki musim salju.