Aulanews.id – Surabaya, Ikhtiar membangun hilirisasi ekonomi warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin terus digalakkan. Hal demikian selaras dengan semangat kemandirian ekonomi yang digaungkan oleh NU secara organisasi, baik pada tatanan jamiyah ataupun jamaah.
Anggota Dewan Ahli Pengurus Wilayah (PW) Badan Kemaritiman Nahdlatul Ulama (BKNU) Jatim, H Zainal Abidin mengatakan, hilirisasi merupakan bagian dari forward link agenya, karena forward link age maka ada back word linkagenya.
“Jadi, ada yang ke depan atau integrasi vertikal, tapi ke belakang perlu kita lihat juga siapa yang memegang sumber daya sekarang,” ujarnya saat Tabuh Maghrib yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim. Kegiatan ini disiarkan secara langsung melalui kanal youtube TV9.
Ia menambahkan, bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah dan luar biasa karena terletak di Khatulistiwa. Kekayaan sumber daya tersebut meliputi mineral, tambang, gas, dan lainnya. Namun, kekayaan yang dimiliki tersebut berbanding terbalik aspek perekonomian warga yang masih bergelut dengan kemiskinan.
“Coba kita lihat peternak kita, yang datang ke Indonesia siapa? Yang mengolah siapa? Semuanya hulu. Siapa yang membuat pakan udang? hulu juga. Kalau hulunya dipegang, kepalanya dipegang, tinggal megal megol saja. Dinamika ini yang harus kita pahami,” tegasnya.
Sebab itu, ke depan ia berharap agar warga NU secara khusus hendaknya memiliki prinsip untuk menciptakan nilai tambah, membuka lapangan pekerjaan, hingga pertumbuhan ekonomi perdesaan. Apalagi Indonesia merupakan negara agraris atau maritim.
“Inilah yang menjadi keunggulan komparatif yang nanti kita bentuk dan arahkan menjadi keunggulan kompetitif (daya saing). Karena memeng salah satu prinsip hilirasisi adalah menciptakan nilai tambah. Sedang selama ini petani hanya menanam, pelihara, panen, dijual, dan begitu berulang,” ucapnya.
Oleh karena itu, paradigma lama semacam ini hendaknya diubah jika ingin maju. Pertama, mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM). Kedua, pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Ketiga, korporatisasi agar tidak hanya menyelamatkan diri masing-masing, tapi mengedepankan kualitas keterampilan.
“Paradigma yang berkembang saat ini bukan salah, tetapi tidak ada kelanjutan. Mereka sudah bekerja keras tapi belum bekerja cerdas. Itu yang harus diubah. Mereka (petani, nelayan, dan lainnya) ini punya usaha kecil yang skalanya kecil, modalnya kecil, teknologinya sederhana, beragam dan terpencar. Nah, ini kita jadikan titik tolak untuk ke depan kemana kita harus berbuat,” ucapnya.