Gubernur Suryo menghadapi masalah besar berkenaan dengan kedatangan pasukan sekutu di Surabaya. “Insiden Bendera” di hotel Yamato dan berlanjut dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam insiden di Gedung Internatio Jembatan Merah, Surabaya, menimbulkan kemarahan sekutu hingga mengeluarkan ultimatum yang meminta semua rakyat Indonesia menyerah paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00 WIB. Jika tidak mengindahkan ultimatum itu, maka Kota Surabaya akan dihancurkan, baik melalui serangan darat, laut, ataupun udara.
Pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta saat itu menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Gubernur Suryo. Ia pun segera melakukan perundingan dengan Tentara Keamanan Rakyat (BKR) dan masyarakat lainnya. Selanjutnya pada 9 November, ia menyampaikan pidatonya yang berjudul ‘Komando Keramat’ melalui radio NIROM. Isi pidato tersebut, yakni menyerukan arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Inggris demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, 10 November 1945, meletuslah pertempuran melawan tentara Inggris selama 3 minggu.
Gubernur Suryo meninggal dunia usai dibunuh oleh PKI pada 10 November 1948. Jasadnya ditemukan di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi. Kemudian ia dimakamkan di Magetan. Sebagai bentuk untuk mengenang jasa Gubernur Suryo, dibangunlah monumen di Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Selain itu, pemerintah Indonesia juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gubernur Suryo berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 pada 17 November 1964.
Penulis: Bela
Editor: Hendro