Aulanews.id – Kota Kaki Gunung menjadi julukan yang akrab disematkan oleh Kabupaten Magetan. Hal itu tidak lepas dari letak geografisnya yang berada di kaki dan lereng Gunung Lawu. Berikut adalah sejarah Kabupaten Magetan selengkapnya. Kabupaten yang kini berbatasan langsung dengan Ngawi dan Ponorogo ini memiliki obyek wisata yang terkenal yaitu Telaga Sarangan yang berada di lereng Lawu dengan ketinggian yang mencapai 1.000 Mdpl.
Panorama yang memukau plus hawa yang sejuk membuat Magetan menjadi salah satu jujugan lokasi wisata alam di daerah Jawa Timur. Usut punya usut, sejarah Magetan ternyata tidak lepas dari berbagai kejadian penting di Kerajaan Mataram Islam (1588-1681 Masehi).
Asal mula dan lahirnya nama Kabupaten Magetan sendiri ini terjadi karena pada masa Mataram Islam. Sebuah buku yang berjudul “Apa & Siapa Magetan” menerangkan bahwa Kabupaten Magetan dahulu adalah daerah mancanegara Kerajaan Mataram Islam.
Naik takhtanya Sultan Amangkurat I di tahun 1646 Sultan Amangkurat I menggantikan Sultan Agung yang wafat pada tahun 1645 membuat Kerajaan Mataram dulu melemah. Perjanjian yang dibuat oleh Amangkurat I bersama VOC pada tahun 1646 membuat kongsi dagang Belanda itu leluasa guna memperkuat diri dan memperluas pengaruh ke wilayah Kerajaan Mataram Islam.
Pelayaran perdagangan semakin dibatasi antara lain tidak boleh berdagang ke Pulau Banda, Ambon, dan Ternate. Peristiwa di atas mengakibatkan tumbuhnya tanggapan yang negatif terhadap Sultan Amangkurat I di kalangan keraton, lebih-lebih di pihak oposisi. Sang putra, Adipati Anom yang kelak bergelar Sultan Amangkurat II, juga tidak sepakat dengan kepemimpinan ayahnya tersebut.
Kejadian-kejadian di pusat pemerintahan Kerajan Mataram Islam ini selalu diikuti dengan seksama oleh Daerah Mancanegara. Pangeran Giri yang sangat berpengaruh di daerah peisisir utara Pulau Jawa pun mulai bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram.
Pada masa itu seorang pangeran dari Madura yang bernama Trunojoyo juga sedang sangat kecewa terhadap pamannya, Pangeran Cakraningrat II. Cakraningrat dinilai mengabaikan Madura dan hanya bersenang-senang saja di pusat pemerintahan Mataram Islam.
Trunojoyo kemudian melancarkan pemberontakan pada Mataram pada tahun 1647. Pemberontakan itu didukung oleh orang-orang dari Makassar. Dalam suasana seperti itu kerabat Keraton Mataram yang bernama Basah Bibit (Basah Gondo Kusumo) dan Patih Mataram yang bernama Patih Nrang Kusumo dituduh bersekutu dengan para ulama oposisi yang menentang kebijaksanaan Sultan Amangkurat I.