Kita tahu, misalnya, Sunni ala NU mempunyai ciri pertama, mengikuti sistem bermazhab dalam beragama; kedua, mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi; ketiga, mengikuti tasawufnya dalam ilmu akhlaq (kerohanian). Inilah Sunni mayoritas yang ada sejak abad-10 M hingga sekarang. Berbeda dengan Muhammadiyah yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karena itu, menurut Gus Ulil, jika ada orang Sunni dengan mudah mengkafirkan satu kelompok, sudah pasti mereka bukan Sunni mayortitas, sebagaimana termaktub dalam kitab Faishal al-Tafriqah, bahwa Sunni mayoritas selalu menahan mulut untuk tidak mencampuri imannya orang lain. Tidak mengherankan, sambung Gus Ulil, jika sebagian muslim senang berteman dengan orang non-muslim, karena toleransi antara sesama muslim susah ketimbang toleransi kepada umat lain. Dan permusuhan golongan dalam Islam lebih keras dari permusuhan orang Kristen misalnya.
Masih tentang kafir. Jelasnya, definisi kafir adalah, mereka tidak mempercayai apa yang dikatakan Kanjeng Nabi Saw dan ditegaskan dalam al-Qur’an (berbeda dengan menafisirkan al-Qur’an). Namun demikian, kata al-Ghazali, para kelompok atau golongan tidak boleh dianggap kafir jika mereka tetap dalam garis memahami teks dengan 5 koridor wujud (dzati, hissi, khayali, aqli dan syabahi).
Sebaliknya, kapan pun ada unsur (takdib) kebohongan-menganggap bohong Nabi Saw, maka wajib mengganggap kafir sekalipun dalam malah furu’ (cabang). Misalnya, tidak mempercayai kehidupan setelah kematian, atau mengatakan bahwa Neraka dan Surga tidak ada maka, perkataan orang seperti ini akan jatuh pada kekafiran.