NU, sudah banyak memberi saham sejati yang menjadikan kehidupan di Indonesia damai. Ia menyebut saham NU ini berupa saham sumbangsih NU dalam bidang keagamaan, keberagamaan, kemanusiaan dan kebangsaan. “NU juga sudah menjadikan kita mendapatkan kemuliaan dan penghormatan,” ungkapnya.
Dengan adanya NU, pengurus dan warganya juga bisa memiliki kesempatan berbuat baik dan bisa berkumpul dengan komunitas orang saleh. Sehingga semua ini perlu ‘dibayar’ lunas, oleh warga dan pengurus NU dengan berbagai bentuk deviden.
“(Beri) Kontribusi demi kemajuan organisasi baik bendawi maupun non-bendawi, dan (beri) prestasi, baik jamaah maupun jamiyah, yang memperbesar aset perkumpulan,” tegasnya.
Dengan banyaknya prestasi yang dimiliki oleh NU, lanjut Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, maka kecintaan kepada NU juga akan makin tinggi. Pasalnya secara psikologis, kecintaan akan makin tumbuh pada sesuatu manakala sesuatu itu memiliki nilai lebih. Sebaliknya, jika tidak ada nilai lebih, maka kecintaan pun akan luntur. “Tidak ngrepoti dan menjadi beban organisasi juga menjadi salah satu bentuk membayar utang kepada Nahdlatul Ulama,” ungkapnya.
Terlebih jelang memasuki abad kedua NU, ia mengajak seluruh warga NU untuk memberi kontribusi agar NU bisa lepas landas dengan sempurna. Menurutnya, fase 100 tahun merupakan fase di mana akan menemui paradigma baru yang tentu akan banyak menghadapi kejutan-kejutan. Dalam pandangannya, ada tiga kemungkinan yang akan muncul setelah memasuki umur 100 tahun dalam sebuah fase kehidupan. Ketiga hal tersebut adalah mengalami penurunan (hancur), mengalami kondisi stagnan (kalah), dan mengalami masa kenaikan. Dua yang pertama menurut Prof Nuh bukalah pilihan. Namun yang ketiga merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. (Vin)