Oleh: Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi
Menjelang muktamar NU di penghujung tahun 2021 ini perbincangan mengenai sosok Rois Am dan ketua umum PBNU menjadi sangat menarik, menurut hemat penulis sosok calon Rois Am sebetulnya lebih penting daripada ketum PBNU, karena Rais aam menurut AD ART NU merupakan pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama, segala petuah dan keputusannya harus dihormati oleh warga NU. Dengan demikian, tugas yang diembannya menjadi sangat berat. Karena itulah, dibutuhkan figur yang mumpuni untuk mengemban amanah tersebut.
Memperbincangkan sosok ideal Rois Am mengingatkan saya kepada 4 pokok pikiran dari KH Makruf Amin di tahun 2015 sebelum muktamar NU ke 33 di Jombang :, Rais aam terpilih di muktamar Jombang yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI itu pernah dawuh tentang kriteria yang perlu dimiliki oleh seorang rais aam , karena rais ‘aam itu bukan hanya sekedar jabatan kepengurusan tertinggi di jam’iyah Nahdlatul Ulama, tapi menurut kyai makruf merupakan maqam atau kedudukan khusus untuk seseorang yang memiliki kualifikasi yang memadai. Dan menurut beliau jabatan ini tidak boleh diperebutkan, tapi harus dicari seseorang yang memiliki kualifikasi seperti itu, yang menurut beliau layak disebut sebagai shahibul maqam.
Empat kriteria pokok pemikiran KH Makruf Amin tentang Rois am itu adalah Pertama FAQIH. Artinya seorang Rais am harus mendalam penguasaan keagamaannya, terutama dalam ilmu fiqh. Karena rais ‘aam lah yang mengarahkan jalannya organisasi tertinggi, termasuk dalam hal keagamaan. Bagaimana seseorang bisa menjadi pengarah kalau tidak seorang faqih.
Kedua MUNADZIM atau manajerial. Artinya seorang Rois Am harus faham dalam tata cara mengelola organisasi. NU merupakan organisasi besar dan rais ‘aam merupakan nahkoda yang membawa organisasi ini ke mana arahnya. Oleh karena itu dia harus memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup untuk dapat menjalankan roda organisasi, bukan kader karbitan yang mendadak bertengger di level nasional. Karena sesungguhnya lembaga tanfidziyah itu hanya pelaksana tugas Syuriyah. Sehingga rais ‘aam harus memahami tata laksana manajemen organisasi sejak dari level bawah.
Ketiga MUHARRIK atau penggerak, karena NU merupakan gerakan ulama untuk memperbaiki umat dan negara atau istilah beliau harakah al-ulama fi ishlah al-ummah wa ad-daulah. Karena itu rais ‘aam harus menjadi seperti dinamo yang bisa menggerakkan seluruh jaringan di NU. Tidak orang yang hanya bisa bergerak sendiri tapi tidak menggerakkan apa-apa, seperti gasing yang berputar sendirian.