Kapitalisasi pasar TKIM mencapai Rp 24,13 triliun per Jumat (1/10). Saham TKIM pada perdagangan di BEI pada Jumat (1/10/2021) dibuka koreksi ke level Rp 7.925 per saham, dari penutupan hari sebelumnya Rp 7.950 per saham. Adapun sepanjang 2021, saham TKIM terkoreksi sebanyak 21,07%, dilansir dari RTI.
Meskipun pergerakan harga saham masih merah, TKIM mampu membagikan dividen tahun ini, untuk kinerja perusahaan di 2020 lalu. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar 26 Agustus 2021 sepakat membagi dividen tunai sebesar US$ 5,37 juta atau setara Rp 77,83 miliar. Investor yang memiliki saham TKIM akan memperoleh dividen Rp 25 per lembar saham.
Eka Tjipta Widjaja bisa disebut sebagai jantung perusahaan pabrik kertas ini. Pria kelahiran Tiongkok, 3 Oktober 1923 tersebut memiliki nama asli Oei Ek Tjhong, dilansir dari Antara. Terlahir dari keluarga sangat miskin, membuat Eka yang berusia 9 tahun dan ibunya memutuskan merantau ke Indonesia untuk mencari sang ayah. Sesampainya di Makassar, Eka membantu bekerja di toko kecil rintisan ayahnya.
Hidup serba kekurangan, membuat Eka Tjipta kecil terpaksa meninggalkan pendidikan pasca lulus sekolah dasar di Makassar. Dia juga harus mencicipi bermacam-macam profesi atau pekerjaan, mulai dari pedagang permen, biskuit, kembang gula keliling, hingga jadi kontraktor kuburan seharga Rp 3.500 per liang lahat.
Eka juga sempat menjual kopra alias daging buah kelapa yang dikeringkan. Eka pun bekerjasama dengan Corp Intendans Angkatan Darat (CIAD) dan memperoleh laba besar. Namun, perlahan usahanya mulai bangkrut ketika Jepang mengeluarkan kebijakan monopoli kopra.
Eka memutuskan untuk pindah ke Surabaya di usia ke 37 tahun dan mulai berbisnis kebun kopi serta kebun karet. Kerja kerasnya pun terbayar di 1960, ketika dia berhasil mendirikan usaha perdagangan kecil dengan nama CV Sinar Mas.
Dari sana, Eka memulai bisnis produksi bubur kertas dari bahan sisa pengolahan karet. Kini, perusahaan tersebut bertransformasi menjadi dengan beberapa unit bisnis bidang kertas dan pulp, agribisnis dan pangan, layanan keuangan, real estate, telekomunikasi, hingga sektor energi serta infrastruktur.
Tak hanya sampai situ, Eka juga mengakuisisi Bank Internasional Indonesia (BII) pada 1982. Di bawah kepemimpinan Eka, aset BII yang semula hanya mencapai Rp 13 miliar terus meningkat menjadi Rp 9,2 triliun. Bank ini kemudian banyak mendanai usahanya yang lain.