Pada era demokrasi parlementer di tahun 1945 hingga 1950, budaya politik yang berkembang sudah beragam hingga rakyat dianggap sudah memiliki pemikiran budaya politik partisipan, dimana mereka sudah mengenal hak-hak mereka dan juga mampu melaksankan kewajiban yang justru mengakibatkan adanya deviasi penilaian terhadap peristiwa politik kala itu. Lalu pada demokrasi terpimpin, masih tertanam sifat primordialisme yang memandang daerah asalnya lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, meskipun tentu hal ini sudah dibatasi secara formal melalui Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Dan di era demokrasi Pancasila kini lebih menonjolkan gaya intelektual pragmatis dalam penyaluran tuntutan.
Di era sekarang, era reformasi, dimana budaya politik yang berkembang kini lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan petinggi politik. Hal ini mengakibatkan demokrasi yang semestinya berjalan lancar justru malah tersendat dan terjadi problematika sehingga tidak dapat berjalan dengan baik.
Bagaimana sistem politik kotor yang bisa kita lihat sekarang? Para partai politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok, menghasut rakyat untuk berlutut dan memilih mereka ketika pemilu diselenggarakan. Tak heran bila hal ini terjadi, dimana petinggi hanya melihat rakyat sebagai pion untuk mereka mencapai suatu kekuasaan. Budaya politik tidak berubah meskipun struktur juga fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan seiring bergantinya era.
Bergantinya pemimpin dan rezim yang telah terjadi kesekian kali tetap saja membuat rakyat tak bisa bebas memilih negara seperti apa yang ingin ditempati. Kepala Badan Bela Negara FKKPPI menuturkan esensi demokrasi adalah adanya keseimbangan. Demokrasi harus menjamin ketersediaan ruang bagi setiap warga negara untuk berekspresi dan menyuarakan hak-hak politiknya tanpa represi dan intimidasi, baik dari aparatur negara maupun dari kekerasan dalam masyarakat, dilansir dari suara.com.