Demokrasi Milik Rakyat, Tetapi Suara Rakyat Tidak Pernah Didengar

Aulanews.id – Seiring bertambah usia, minat terhadap perkara politik pasti muncul, tapi saya tidak menyangka saya akan mencicipi kualitas politik Indonesia yang sebercanda ini. “Demokrasi”, ujarnya.

Mata rantai pengaruh politik yang dilakukan oleh para petinggi justru membuat rakyat hanya bisa bungkam, memohon, dan berserah diri. Bagaimana tidak, bahkan dalam menyuarakan pendapat, rakyat hanya bisa menggerutu dalam hati. Padahal mereka menyaksikan secara langsung ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Sejatinya, demokrasi sendiri memiliki pengertian sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, ke rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, rakyat memiliki peran paling utama.

Namun apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia?

Mengulik dari suara tangis rakyat belakangan, politik Indonesia semakin memperbudak rakyat dan menuhankan pemerintah. Rakyat dibungkam, diperas, dijerat dengan rantai oleh para petinggi negara. Dijadikan budak dan dirampas hak-haknya yang merupakan inti utama dari terselenggaranya pemerintahan berdemokrasi.

Lalu bagaimana dengan budaya politik Indonesia yang secara garis besar dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya politik partisipan?

Di Indonesia sendiri, budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik dalam berdemokrasi. Karena dengan adanya demokrasi, pemerintah dan rakyat warga negara bisa terhubung, karena rakyat dilibatkan dalam pemilihan umum sehingga rakyat merasa ikut serta dalam berjalannya tatanan Negara. Warga Negara juga mampu menyampaikan kritik, aspirasi, dan juga melontarkan protes terhadap pemerintahan.

Pada era demokrasi parlementer di tahun 1945 hingga 1950, budaya politik yang berkembang sudah beragam hingga rakyat dianggap sudah memiliki pemikiran budaya politik partisipan, dimana mereka sudah mengenal hak-hak mereka dan juga mampu melaksankan kewajiban yang justru mengakibatkan adanya deviasi penilaian terhadap peristiwa politik kala itu. Lalu pada demokrasi terpimpin, masih tertanam sifat primordialisme yang memandang daerah asalnya lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, meskipun tentu hal ini sudah dibatasi secara formal melalui Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Dan di era demokrasi Pancasila kini lebih menonjolkan gaya intelektual pragmatis dalam penyaluran tuntutan.

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist