Rokaya memerlukan waktu untuk pulih setelah sakit yang memaksanya berhenti sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia dan pulang ke Indramayu, Jawa Barat. Namun, di bawah tekanan dari agennya yang meminta penempatan awal sebesar dua juta Rupiah, ia menerima tawaran pekerjaan di Erbil, Irak.
Di sana, Ibu Rokaya mendapati dirinya bertanggung jawab mengurus kompleks keluarga yang luas—bekerja dari jam 6 pagi hingga lewat tengah malam, tujuh hari seminggu.
Karena kelelahan memperburuk sakit kepala dan masalah penglihatan yang memaksanya meninggalkan Malaysia, keluarga angkat Rokaya menolak membawanya ke dokter dan menyita ponselnya. “Saya tidak diberi hari libur apa pun. Saya hampir tidak punya waktu untuk istirahat,” katanya. “Rasanya seperti penjara.”
Pelecehan fisik dan seksual
Kesulitan yang dialami Ibu Rokaya sudah tidak asing lagi bagi 544 pekerja migran Indonesia yang dibantu oleh Badan Migrasi PBB (IOM) antara tahun 2019 dan 2022, bekerja sama dengan Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI). Banyak dari mereka mengalami pelecehan fisik, psikologis dan seksual di luar negeri. Jumlah kasus tersebut terjadi meskipun ada moratorium yang diberlakukan di Jakarta terhadap pekerjaan di 21 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2015, menyusul eksekusi dua pembantu rumah tangga Indonesia di Arab Saudi.
Untuk memitigasi dampak kemanusiaan dari perdagangan orang, IOM bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat peraturan mengenai migrasi tenaga kerja; melatih penegakan hukum untuk memberikan respons yang lebih baik terhadap kasus-kasus perdagangan orang; dan bekerja sama dengan mitra seperti SBMI untuk melindungi pekerja migran dari eksploitasi – dan, jika perlu, memulangkan mereka.
Rokaya berdiri di depan rumahnya di Indramayu, Jawa Barat.