Kisah perpindahan arah kiblat ini bermula ketika Nabi Muhammad mengunjungi ibu dari Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur dari Bani Salamah ditinggal mati keluarganya. Kemudian tibalah waktu salat. Nabi pun salat bersama para sahabat di sana.
Dua rakaat pertama masih menghadap Baitul Maqdis, sampai akhirnya malaikat Jibril menyampaikan wahyu pemindahan arah kiblat. Wahyu datang ketika baru saja menyelesaikan rakaat kedua.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Allah dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144).
Begitu menerima wahyu ini, Rasul langsung berpindah 180 derajat, diikuti oleh semua jemaah menghadap Masjidil Haram.
Pada awalnya, kata Aswdsi, kiblat salat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 96 : “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Sedangkan Al-Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari Bani Israil. Dari Madinah, Baitul Maqdis berada di sebelah utara, sedangkan Baitullah di bagian selatan.