Wisata Kuliner Anti-mainstream, Sate Kampret Pasar Legi Jombang

Soal harga, ternyata warung ini menerapkan harga standar yang terjangkau. Meski dipatok harga per tusuk yang jauh lebih mahal dari sate ayam. Namun, jika dilihat dari besarnya daging sate kampret dan harga daging sapi tentu menjadikannya masuk akal. “Harga makan sate kampret menurut saya ga masalah, terjangkau kok,” ujar Wisnu.

Jadi, nama kampret di warung ini, diambil dari nama pedagangnya, yakni Jumain Kampret. Bersama istrinya, Jumain Kampret mendirikan warung ini 29 tahun yang lalu. Saat ini, warung dikelola generasi kedua yakni putri Jumain yang bernama Sri Wahyuni. “Dulu bapak saya buka warung tiap tengah malam. Karena itu beliau sering dipanggil ‘kampret’ sama orang-orang pasar” aku Sri menjelaskan awal mula nama warung sate kampret.

Awalnya, Jumain Kampret, membuka warungnya jelang tengah malam yakni jam 11.00 malam. Karena justru keluar saat tengah malam itulah Jumain dijuluki sebagai ‘kampret” alias anak kelelawar. “Sekarang saya mulai buka jam 9.00 malam. Karena ingin lebih banyak anak-anak muda yang datang,” ujar Sri. Sri mengaku, biasanya warungnya tutup jam 01.00 dini hari karena persediaan menunya sudah habis.

Sri juga menjelaskan, setiap harinya ia berbelanja 36 kilogram daging sapi untuk dibuat sate. “Biasanya jadi lebih dari 2.000 tusuk dan selalu habis,” tukasnya. Untuk bumbunya, ia menghabiskan 5 kilogram cabai dan kacang.

Selain menu utama sate kampret, warung ini juga menyediakan nasi urap-urap, rawon, lodeh, pecel, dan kare. Tertantang mencoba menu anti-mainstream sate kampret? (mg1/vin)

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist