Tak hanya tempat dan suasananya yang anti-mainstream. Bumbu sate kampret bisa dibilang beda. Sensasi rasa pedas yang khas menambah keunikannya. “Rasanya enak sih namanya kampret tapi ini sate daging pedas,” kata Pila. Bukan Cuma bumbunya yang membuat Pila ketagihan. Ternyata daging sapinya juga membuat gadis asal kota Jombang ini sering memesan menu sate kampret di aplikasi pesan makanan online. “Suka banget enak soalnya dagingnya empuk,” tukas Pila.
Satu lagi yang berbeda dari warung ini adalah sayur mayur yang dijadikan pendamping sate kampret. Pengunjung bisa memesan sayur lodeh, pecel, kare dan urap-urap sebagai menu pendamping. “Menurut saya, satenya makin enak kalua dicampur sama sayur. Saya suka tambah pecel. Buat saya menu ini jadi makin unik,” kata Wisnu.
Soal harga, ternyata warung ini menerapkan harga standar yang terjangkau. Meski dipatok harga per tusuk yang jauh lebih mahal dari sate ayam. Namun, jika dilihat dari besarnya daging sate kampret dan harga daging sapi tentu menjadikannya masuk akal. “Harga makan sate kampret menurut saya ga masalah, terjangkau kok,” ujar Wisnu.
Jadi, nama kampret di warung ini, diambil dari nama pedagangnya, yakni Jumain Kampret. Bersama istrinya, Jumain Kampret mendirikan warung ini 29 tahun yang lalu. Saat ini, warung dikelola generasi kedua yakni putri Jumain yang bernama Sri Wahyuni. “Dulu bapak saya buka warung tiap tengah malam. Karena itu beliau sering dipanggil ‘kampret’ sama orang-orang pasar” aku Sri menjelaskan awal mula nama warung sate kampret.
Awalnya, Jumain Kampret, membuka warungnya jelang tengah malam yakni jam 11.00 malam. Karena justru keluar saat tengah malam itulah Jumain dijuluki sebagai ‘kampret” alias anak kelelawar. “Sekarang saya mulai buka jam 9.00 malam. Karena ingin lebih banyak anak-anak muda yang datang,” ujar Sri. Sri mengaku, biasanya warungnya tutup jam 01.00 dini hari karena persediaan menunya sudah habis.