Setelah ziarah ke Makam Gus Dur, rombongan mengunjungi Museum Islam Indonesia KH M Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus kakek Gus Dur. Setelah dari museum, mereka langsung menuju Klenteng Hong San Kiong Gudo, Jombang untuk beristirahat dan bermalam di klenteng ini sambil menikmati pertunjukan Wayang Potehi yang sudah mulai langka. Untuk makan malam, panitia menjamu dengan menikmati Nasi Kikil Kesukaan Gus Dur di Mojosongo, Jombang.
Lagu Yalal Wathon
Makan malam Nasi Kikil ini semakin nikmat dengan kehadiran Ibu Munjidah Wahab, mantan Bupati Jombang yang juga putri KH Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU. Acara semakin gayeng, karena para peserta yang sebagian besar Keturunan Tionghoa spontan menyanyikan lagu Yalal Wathon.
Sebelum pulang ke Semarang, pada Ahad (26/08/2024) pagi, rombongan Ceng Beng ini menyaksikan sunrise di Rolak 70, yang merupakan salah satu bendungan bersejarah. Tidak lupa rekreasi ke Candi Rimbi, Candi Tikus dan mengunjungi Maha Vihara Mojopahit, Trowulan, Mojokerto.
Boen Hian Tong (BHT) adalah satu-satunya perkumpulan Tionghoa paling tua di Semarang yang masih berdiri dan aktif hingga saat ini. Peresmian BHT diselenggarakan pada tanggal 15 Cia Gwee Imlek 2427 pada malam Cap Go Meh (Shi Wu Jie) atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1876 di sebuah rumah di Gang Gambiran, Semarang.
“Tujuan didirikan BHT sekedar untuk mempererat tali persaudaraan dengan jalan mengembangkan seni tetabuhan Tionghoa. Kesenian bermusik waktu itu Lamkwan yang dimainkan secara rutin setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek,” tutur Harjanto.
Meskipun berawal sebagai perkumpulan hiburan dengan berkesenian memainkan Lamkwan, akhirnya berkembang menjadi organisasi sosial yang lebih luas dengan memberikan bantuan di kalangan mereka yang membutuhkan. “Sehingga awalnya perkumpulan untuk berkesenian, kini menjadi perkumpulan sosial juga,” pungkasnya. (RH/Hb)