”Menjadi mahasiswa UT menunjukkan pekerja migran kita punya kelebihan lain yang sangat langka, yaitu manajemen waktu dan manajemen masa depan,” puji Satrya.
Berdasarkan aturan ketenagakerjaan di Singapura, pekerja migran di sektor domestik hanya memiliki satu hari libur setiap minggunya. Belum lagi jam kerja mereka yang sangat padat, sehingga seringkali mereka belajar di tengah malam usai bekerja, atau di hari Minggu yang menjadi satu-satunya hari libur.
”Mahasiswa yang bukan pekerja migran setiap waktunya dipergunakan untuk kuliah, sedangkan pekerja migran harus mengatur waktu sedemikian rupa agak bisa kuliah di tengah kesibukan bekerja,” tambah Satrya.
Siti Mujiati, seorang mahasiswa yang juga ketua asosiasi mahasiswa mengatakan, ia dan teman-temannya sering belajar berkelompok hingga tengah malam menggunakan zoom. Terkadang sampai tertidur di depan komputer.
Namun, ia mengatakan bahwa teman-temannya sangat ingin mengubah nasib dan masa depan menjadi pekerja terdidik dan punya keahlian khusus. Kehadiran UT sangat membantu para pekerja migran ini. Jumlah 45 orang tersebut sebetulnya masih sangat kecil dibandingkan angka seratusan ribu pekerja migran Indonesia di Singapura.
”Namun, angka ini menjadi signifikan karena merekalah yang akan menjadi contoh bagi para pekerja migran lainnya,” jelas Pardamean, koordinator pendidikan luar negeri UT melalui media zoom saat memberikan materi pada acara tersebut.
Singapura juga dianggap tinggi peminatnya sehingga menjadi pusat acara penerimaan mahasiswa baru UT dari negara lain, seperti Amerika, Korea, dan beberapa negara Eropa.
”Singapura dapat menjadi salah satu pokja yang diandalkan untuk membantu target capaian sejuta mahasiswa Universitas Terbuka,” tambah Pardamean yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari para mahasiswa baru UT yang hadir.