Dirinya mengemukakan, semangat bergerak menggaungkan kebencian dan daulah yang dimiliki para teroris dan radikalis itu luar biasa meskipun mereka terbilang kelompok kecil atau minoritas. Dan, menurutnya, semangat mereka bisa mengalahkan ajaran-ajaran lainnya.
“Dan semangat mereka tentu bisa kita tiru dan transformasi untuk menjunjung nilai-nilai ajaran agama dalam berbangsa dan bernegara. Asalkan jangan meniru muatannya. Kita harus tetap berada di Islam wasathiyah sebagai Islam yang rahmatan lil alamin,” ujar Dr Ali.
Di samping itu, ia menjelaskan trigger (pemicu) yang menjadi titik balik dirinya selaku eks narapidana dan mantan kombatan dengan jabatan terakhir kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah Jawa Timur hingga bisa menjadi seseorang yang disegani dan meraih gelar doktoral.
“Memang tidak mudah, semua itu butuh proses. Saya meninggalkan radikalisme dan terorisme itu bukan karena diajak diskusi atau seminar. Tapi karena hati saya tergerak ketika ada petugas dari Mabes Polri memanggil adinda saat muntah darah. Panggilan itu terngiang, hingga merubah pola pikir saya bahwa Polisi tidak jahat,” katanya.
Kemudian ketika bebas dari belenggu jeruji tahanan Mabes Polri, dirinya memiliki keinginan kuat agar seluruh mantan narapidana terorisme bisa sembuh 100 persen seperti yang dialaminya.
“Dari pengalaman saya menjadi pasien, kini saya bisa menjadi dokter bagi mereka yang terpapar virus radikalisme dan terorisme. Saya juga berharap mereka yang sudah sembuh juga bisa mengkampanyekan bahaya terorisme dan radikalisme,” harapnya.
Dr Ali mengakui, seminar di Unisla yang menyebut diri Kampus Hijau ini merupakan pertama kali dirinya menjadi narasumber secara offline untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia setelah meraih gelar doktoral. “Ke depan, saya sangat berharap Indonesia Zero Terorisme,” ucapnya.