Alima yang berkisah mengenai situasi yang dia lalui dalam rentang pergolakan 1939 hingga 1949. Selama dasawarsa itu, ia menyaksikan dampak Perang Dunia II, masa pendudukan Jepang, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Suara Alima yang diisi oleh Denise Aznam bertutur dengan pelan dan syahdu. Tidak sedikit yang berkomentar, bahwa siapapun yang menikmati dokumenter itu ialah ibarat mereka sedang didongengi oleh seseorang yang berada tepat di sebelah mereka.
Di awal dokumenter itu, kita dapat mendengar dan mungkin saja membuat penilaian tentang keluguan dan kepolosan dari perempuan muda. Baginya, dunia yang ia temui dipahami sebagai sesuatu yang serba baru dan penuh ketakjuban. Ia bertutur seolah begitu kagum, misalnya pada kulit putih bayi Belanda bernama Jantje–bayi yang ia asuh begitu tulus, keteraturan waktu keluarga Belanda, dan salju yang putih seperti pasir putih ajaib.
Adakalanya kita menemukan Alima seolah tidak menyadari bahwa relasi antara ia dengan majikannya ialah terjajah dan penjajah. Atau dalam kemungkinan lain, They Call Me Babu justru berusaha menonjolkan hubungan yang harmonis di antara keduanya, memudarkan jarak yang ada.
Dengan polos dan tanpa nada menggugat, Alima bercerita tentang posisinya yang tidur di lantai tepat di sebelah tempat tidur Jantje. Namun, boleh jadi pula posisi itu menunjukkan ketulusan kasih sayang Alima terhadap Jantje. Ia juga seperti tanpa praduga apapun dan dengan santai bercerita tentang kesukaan Belanda pada keanehan dan keeksotisan mereka (yang dijajah).
Anggapan Alima, keluarga tempat ia bekerja ialah keluarganya. Bagi perempuan-perempuan yang menjadi pengasuh pada masa itu, keluarga Belanda adalah keamanan hidup. Beerends menemukan bahwa para babu saat masa penjajahan Belanda memandang pemosisian atas diri mereka sebagai sesuatu yang positif.