Kedua, adalah teliti dulu teks atau nash agama yang ditinggalkan makna dzahirnya tersebut. Jelasnya, menelaah terlebih dahulu sumber nash agama, apakah teks tersebut sah dan mutawatir berasal dari sumber yang tidak terputus hingga Rasulullah Saw, atau sebaliknya berasal dari sumber yang kurang banyak namun disepakati oleh para sahabat dari Rasulullah Saw.
Namun, jika sudah terkonfirmasi mutawatir atau tidak maka, selanjutnya kita meneliti para perawinya. Ada kemungkinan jumlah minimal untuk bisa disimpulkan suatu nash tersebut kuat kedudukannya, sehingga tidak ada celah bahwa nash tersebut bisa ditakwil karena sudah sangat jelas makna dzahirnya.
Hal lain yang tidak kalah penting, ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits populer karena, yang disebutkan di posisi kedua adalah statusnya belum tentu mutawatir. Bisa jadi, suatu nash mutawatir karena dikisahkan banyak orang di suatu generasi ke generasi hingga generasi sekarang (tidak putus generasi dan inilah definisi mutawatir) dan ada suatu nash mutawatir hanya di satu generasi saja (otomatis tidak mutawatir karena tidak lanjut ke generasi berikutnya).
Misalnya, al-Qur’an adalah nash mutawatir karena dari generasi Rasulullah Saw yang berlanjut ke masa sahabat lalu ke generasi seterusnya dan seterusnya tanpa putus hingga sampai generasi kita sekarang. Sedangkan, hadits mutawatir hanya sedikit jumlahnya dan umumnya yang banyak adalah hadits ahad karena jumlah perawinya sedikit (kurang dari jumlah minimal perawinya agar bisa jadi hadits mutawatir) namun bukan berarti hadits ahad itu tidak sahih.
Adapun diluar konteks al-Qur’an (misal hadits dan berita sejarah) maka, jadi samar atau sulit untuk diketahui status mutawatirnya kecuali, oleh orang-orang ahli sejarah yang mumpuni (kokoh) pengetahuannya sehingga bisa mengetahui riwayatnya. Kadang-kala bisa ditemui kisah atau berita yang diceritakan oleh banyak orang, namun tetap muncul keraguan (berdasarkan insting) mengenai kebenaran kisah dan berita tersebut.
Bisa saja diduga telah terjadi konspirasi kebohongan sehingga menceritakan kisah dan berita tersebut, misalnya karena fanatisme mazhab. Sehingga, mendorong sejumlah orang bersekongkol meriwayatkan suatu hadits yang bohong demi keuntungan mazhabnya. Contoh lain misalnya, masalah imamah dan penunjukkan Sayyidina Ali setelah Rasulullah Saw wafat berdasarkan hadits yang secara jelas menunjuk sayyidina Ali, lalu hadits tersebut didaku golongan Syiah sebagai hadits mutawatir. Artinya, jika ada pertentangan tentang hadits mutawatir antara mazhab yang berbeda maka, sebaiknya berhati-hati sebelum memutuskan seseorang tersebut kafir atau tidak. Wallahu a’lam bisshawab.