Bertani di sawah masih menjadi pencarian sekitar 60 warga yang bergabung dalam Subak Kebon Banjar Kebon Desa Kedisan. Diakui Sukanata, bertani bukanlah pekerjaan yang menarik saat ini. Namun, pekerjaan itu masih dianggap mulia karena hasilnya mampu untuk menghidupi keluarga.
”Setidaknya, kami dapat mencukupi kebutuhan pangan dan tidak perlu membeli beras,” kata Sukanata.
Warisan budaya
Masyarakat Bali, termasuk pula Indonesia, berbangga ketika UNESCO dalam Sidang Ke-36 Komite Warisan Dunia di St Petersburg, Rusia, 2012, menetapkan subak sebagai bagian warisan budaya dunia. Meskipun tidak diketahui secara pasti awal keberadaan subak di Bali, pola bercocok tanam itu sudah dikenal masyarakat di Bali mulai pertengahan abad ke-11 Masehi.
Dalam tulisan berjudul ”Terowongan sebagai Instrumen Subak dan Pengalaman Seorang Undagi di Bali”, yang dimuat dalam buku Subak dan Kerta Masa: Kearifan Lokal Mendukung Pertanian Berkelanjutan, I Wayan Alit Artha Wiguna dan Suprio Guntoro dari Balai Pengkajian Teknologi Bali menyebutkan, subak sudah muncul di sejumlah prasasti di Bali pada abad ke-11 Masehi.
Subak berasal dari kata wak, yang berarti bak atau saluran air. Terkait itu, subak dimaknai sebagai pembagian air dari satu sumber, yang dibagi ke dalam bagian-bagiannya.
Subak ini warisan dari leluhur. Sayang jika tidak dimanfaatkan dan dilestarikan.
Pengakuan dari UNESCO itu merefleksikan pengakuan dunia terhadap nilai luar biasa dan universal subak sehingga dunia ikut melindunginya. Pengakuan itu sekaligus menegaskan subak sebagai budaya asli Indonesia. Adapun lima titik lanskap subak di Bali yang diusulkan sebagai warisan dunia adalah Pura Subak Danau Batur, Danau Batur, Subak Pakerisan, Subak Catur Angga Batukaru, dan Pura Taman Ayun.
Kompas edisi Selasa (9/4/2019) memberitakan, subak yang diakui UNESCO seluas 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya mencapai 1.454,8 hektar. Total ada 17 subak, masing-masing 14 subak di Kabupaten Tabanan dan tiga subak di Kabupaten Gianyar.
Pemerintah Provinsi Bali mengakomodasi keberadaan subak dan secara normatif menjaga eksistensi subak melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Pemprov Bali mengalokasikan bantuan keuangan khusus (BKK) pada tahun anggaran 2023 sebesar Rp 28,59 miliar kepada 2.859 subak di seluruh Bali.
Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan subak kembali dikuatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Adapun subak dalam ketentuan itu adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat Bali bersifat sosioagraris, religius, dan ekonomis, yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.