Panorama sawah berundak di lereng bukit itu memang menarik perhatian. Sepasang turis asal Tokyo, Jepang, pun mengungkapkan kekagumannya sambil memandang hamparan terasering Tegallalang. Hamparannya berada di dua desa bertetangga, yakni Tegallalang dan Kedisan. Lokasi wisata lebih dikenal sebagai terasering Tegallalang karena jalur wisata melintasi Desa Tegallalang.
”Beberapa krama (warga) pemilik sawah mungkin menikmati dampak wisata terasering ini. Kebetulan sawah saya berada di belakang sehingga jarang didatangi turis,” kata I Wayan Sukanata (49), petani di Banjar Kebon Desa Kedisan, Tegallalang.
Bertani di sawah masih menjadi pencarian sekitar 60 warga yang bergabung dalam Subak Kebon Banjar Kebon Desa Kedisan. Diakui Sukanata, bertani bukanlah pekerjaan yang menarik saat ini. Namun, pekerjaan itu masih dianggap mulia karena hasilnya mampu untuk menghidupi keluarga.
”Setidaknya, kami dapat mencukupi kebutuhan pangan dan tidak perlu membeli beras,” kata Sukanata.
Warisan budaya
Masyarakat Bali, termasuk pula Indonesia, berbangga ketika UNESCO dalam Sidang Ke-36 Komite Warisan Dunia di St Petersburg, Rusia, 2012, menetapkan subak sebagai bagian warisan budaya dunia. Meskipun tidak diketahui secara pasti awal keberadaan subak di Bali, pola bercocok tanam itu sudah dikenal masyarakat di Bali mulai pertengahan abad ke-11 Masehi.
Dalam tulisan berjudul ”Terowongan sebagai Instrumen Subak dan Pengalaman Seorang Undagi di Bali”, yang dimuat dalam buku Subak dan Kerta Masa: Kearifan Lokal Mendukung Pertanian Berkelanjutan, I Wayan Alit Artha Wiguna dan Suprio Guntoro dari Balai Pengkajian Teknologi Bali menyebutkan, subak sudah muncul di sejumlah prasasti di Bali pada abad ke-11 Masehi.