“Media massa akan membuka wawasan, perspektif, hingga akhirnya memudahkan masyarakat memahami siapa calon pemimpinnya. Masyarakat juga bisa melihat dengan jelas, bagaimana proses pemilu berjalan,” terang doktor ilmu komunikasi ini.
Komunikasi publik yang buruk
Dalam pernyataan sikap ini, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS) juga menyinggung gejala memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia pada Pemilu 2024, dalam perspektif komunikasi publik yang buruk.
Mewakili senat dosen dan alumni, Jokhanan Kristiyono menegaskan bahwa Presiden dan Menteri adalah pejabat negara, sekaligus newsmaker. Dimana mereka akan didengar narasi yang disampaikan melalui komunikasi verbal, sekaligus dilihat aktivitasnya sebagai pesan melalui komunikasi nonverbal.
“Pernyataan Presiden Joko Widodo ketika menyampaikan bahwa presiden dan menteri boleh kampanye, bahkan boleh memihak, dalam perspektif komunikasi non-verbal, publik melihat itu sebagai dukungan atau pemihakan kepada salah satu pasangan calon di Pilpres 2024,” kata Dr. Jokhanan Kristiono, M. Med. Kom., Ketua Stikosa – AWS, Rabu pagi (7/2/2024) di Kampus Stikosa-AWS di kawasan Nyinden Intan Timur, Surabaya.
Nonverbal communication tersebut kemudian muncul di depan publik. Sehingga masyarakat melakukan tafsir kemudian menterjemahkan berdasar referensi yang dimiliki.
“Jadi bertemu antara komunikasi nonverbal dengan komunikasi verbal, yang memvalidasi anggapan publik. Sehingga kami memaklumi apa yang disuarakan oleh kalangan perguruan tinggi, terutama para guru besar yang menyorot dari perspektif etika politik dalam sistem negara demokrasi,” tukasnya.