Ajakan serupa juga disampaikan Pemimpin Redaksi NU Online,
Ivan Aulia Ahsan, yang mengajak kalangan pesantren untuk melawan framing dari media yang tak paham dunia pesantren.
“Ada dua framing media yang menyasar dunia pesantren yakni pelecehan seksual dan bullying, padahal guyonan ala pesantren itu sudah biasa dan sudah ada sejak dulu, namun tujuannya semacam guyon saja untuk menguji mentalitas teman sekamar atau sekadar membunuh sepi,” katanya.
Namun, kalangan pesantren juga tidak perlu terlalu buru-buru memakai UU ITE, melainkan cukup sabar dengan memberi penjelasan dan menerima permohonan maaf, agar kalangan non- pesantren memberi apresiasi dan simpati.
Sementara itu, peneliti Alvara Research, Hari Nugroho mengajak pesantren mampu membaca data dan fenomena masyarakat kota hari ini yang kian religius dan menjadikan agama sebagai hal utama dalam kehidupannya. Namun demikian, masyarakat kota cenderung lebih berisik, mudah melakukan komplain dan kritik terhadap apapun yang tidak sesuai dengan harapannya, termasuk tentang pesantren melalui media sosial.
“Tren Masyarakat kota memilihkan pendidikan Islam dan memondokkan anaknya di pesantren kian meningkat, karena itu harus sigap mengantisipasi, misalnya keterbukaan memberikan informasi yang dibutuhkan mereka,” ujar Hari.
Ketua RMI Jatim, Gus Thoif berharap melalui diskusi ini, RMI dan pesantren lebih membuka diri bekerjasama dengan RMI dan media NU mengoptimalkan media untuk menyusun narasi tentang substansi dan kelebihan pendidikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, dan sigap memanfaatkan dengan media ketika ada kritik dan sorotan publik kepada pesantren.