Ia menyoroti mengenai masih tingginya korupsi, meski UNCAC telah berjalan selama 20 tahun. Potret itu terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022. Di ASEAN, hanya satu negara dari sebelumnya tiga negara (pada 2020) tercatat memiliki nilai di atas 50. Oleh karenanya penanganan dengan pendekatan menyeluruh komunitas (whole of society approach), termasuk dengan melibatkan parlemen adalah keharusan.
Ini terlihat, misalnya, terlihat dari pendekatan kebutuhan legislatif dari UNCAC itu sendiri. SEAPAC, menemukan sedikitnya 20 aturan UNCAC memiliki terminologi jelas terkait perlunya memiliki “langkah-langkah legislatif” (legislative measures), atau “langkah-langkah legislatif dan administratif atau lainnya” (legislative and administrative or other measures).
“Belum termasuk hal-hal lainnya yang dapat diterjemahkan sebagai produk legislatif apabila dibutuhkan. Ini menunjukkan peran penting parlemen dalam melaksanakan UNCAC,” paparnya.
Hasil Kajian Singkat SEAPAC menemukan beberapa contoh keperluan legislasi seperti perlunya lima negara di Asia Tenggara untuk mengkriminalisasi suap kepada pejabat publik asing dan organisasi internasional. Dua negara perlu mengadopsi atau mengamendemen kriminalisasi atas obstruction of justice.
“Sedikitnya empat negara meminta bantuan UNODC untuk dukungan teknis terkait penyusunan legislasi, contoh UU, saran legislatif, yang kesemuanya merupakan bagian dari kerja-kerja parlemen,” urainya.
Ketua BKSAP ini menyarankan dua hal yakni membangun mekanisme domestik untuk review regular UNCAC dan mendorong Conference of the State Parties (CoSP) untuk memiliki kebijakan jelas dalam pelibatan anggota parlemen dalam mekanisme review UNCAC. (aha)