Menantu dari kyai desa ini lantas menceritakan kegagalannya berangkat haji beberapa waktu silam. Tahun 2000, saat Eka masih menjadi sekretaris desa, ia digaji dengan mengelola tanah bengkok. Tanah tersebut lantas ia sewakan selama setahun dan mendapatkan uang sebesar empat juta rupiah.
” Uang itu saya depositokan untuk daftar haji. Padahal waktu itu, biaya haji masih sekitar 8 atau 10 jutaan lah,” tutur ia mengenang masa lalunya.
Tak berselang lama, seorang memerlukan bantuan pinjaman kepadanya. Jiwa tidak teganya pun berpihak pada sang peminjam. Uang deposito yang sudah ia gadang-gadang untuk biaya haji pun akhirnya berpindah tangan.
“Ternyata uangnya tidak dikembalikan. Padahal saya sudah beli baju putih, mukenah. Saking sedihnya, rindu saya tertunda, saya kasihkan baju putih saya pada orang. Cuma mukenahnya saya sisakan, saya pakai sholat tiap hari raya, dan sekarang saya bawa pergi haji,” ujarnya sambil terisak.
Ujian pun terus bertubi usai itu. Tak hanya ujian ekonomi, kehamilan anak ketiga pun harus sering masuk keluar rumah sakit yang mengakibatkan sang bayi meninggal di usia 3 hari.
Pun menjelang keberangkatan. Ia juga diuji kondisi kedua orang tuanya yang sering sakit dan membutuhkan perawatan ekstra Eka sebagai anak tunggal, tak ketinggalan ujian sakit pada anak bungsu dan suami tercintanya.
Namun, dibalik semua ujian yang ada, Alloh menyiapkan hadiah indah yang telah lama diimpikan istri dari guru ngaji ini. Berangkat haji ke Baitulloh, yang juga menjadi impian banyak umat Islam dunia.
“Masih di Asrama Haji saja, saya sudah diperlakukan seperti raja. Makannya enak pake ikan daging, tinggal makan, tidurnya di sofa nyaman pula kamarnya. Padahal saya di rumah itu, makannya tahu tempe,” ujarnya sambil tersenyum merekah.