Lalu ada pertanyaan, kira-kira kapan persisnya Eyang Joparto tersebut hidup? Jika ditarik ke masa lampau pada 4 generasi sebelum saya berarti Eyang Joparto lahir sekitar tahun 1860an. Kemudian diantara orang tua kami ada yang berkisah atau mencoba berspekulasi: adakah keterkaitan antara para leluhur kami tersebut dengan eksistensi Pangeran Diponegoro yang melakukan gerilnya terhadap kolonial? Memang saat artikel ini ditulis masih belum ditemukan jejak digital yang membuktikan bahwa Eyang Joparto adalah laskar atau pengikut Diponegoro yang lari ke Blitar. Karena sang Pangeran ini ditangkap oleh Belanda tahun 1830. Barangkali saja orang tua Eyang Joparto yang berpotensi terlibat berinteraksi dengan sang Pangeran atau laskarnya karena yang relativ sezaman. Oleh sebab itu kami sebagai bagian dari generasi Eyang Joparto masih punya “PR” untuk melakukan riset untuk menyibak tabir misteri sejarah tersebut. Termasuk menelusuri asal muasal Eyang Joparto dan orang tuanya berasal dari mana.
Sementara argumen keterkaitan Eyang Joparto dengan sang Pangeran tersebut didasari oleh fakta akan “doktrin” atau arahan dari para orang tua atau simbah kami bahwa hendaknya menanam pohon Sawo Kecik di pekarangan rumah. Arahan tersebut memang ada dari berbagai literatur. Bahwa Intruksi dari sang Pangeran tersebut adalah kode bahwa yang bersangkutan adalah bagian dari pengikut atau anak turun laskar Diponegoro. Secara filologi (kebahasaan), konon Sawo Kecik itu juga bisa di maknai dengan ungkapan Sarwo Becik (artinya: Serba Baik). Hal ini juga seolah memberi pesan bahwa Pangeran Dipenegoro berharap anak turunnya atau para laskarnya hendaknya menebar kebaikan dalam hidupnya, serta meneruskan anjuran ini pada generasinya melalui simbol pohon Sawo kecik yang ditanam di pekarangan rumah itu.