Aulanews.id, Jakarta – Lebih dari 200 warga yang terdiri dari berbagai macam latar belakang profesi menandatangani Maklumat Keprihatinan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) bacakan putusan batas usia capres-cawapres. Putusan itu dinilai membuat mundur reformasi.
Mereka menyampaikan keprihatinannya atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan gugatan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun dengan catatan pengecualian sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Keprihatinan tersebut mereka sampaikan dalam sebuah maklumat di Jalan Juanda yang berjudul “Reformasi Kembali ke Titik Nol”.
“Reformasi dan demokrasi yang telah ditegakkan dalam 25 tahun terakhir ini terjadi kemunduran dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti,” ujar Juru Bicara Maklumat, Usman Hamid di Jalan Ir. H. Juanda, Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, DKI Jakarta, Selasa (16/10/2023).
Usman menegaskan, melalui maklumat dibacakan, masyarakat sipil ingin mengembalikan marwah politik yang berasaskan kedaulatan rakyat.
Sebab berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut, masyarakat sipil merasakan ada konflik kepentingan pejabat kabinet yang sangat kuat sampai menyalahgunakan prosedur demokrasi.
“Prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar sejak era orde baru atau rezim Soeharto,” tegas Usman.
Usman yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia itu menggarisbawahi terkait jalannya dinasti politik yang terus berjalan di Indonesia.
Pada proses Pemilu 2024, kata dia, Presiden bahkan melakukan manuver untuk memuluskan langkah demi menjamin kepentingan sendiri dan dinasti keluarga.
“Putusan MK yang menambah aturan baru ihwal syarat capres-cawapres semakin mewarnai jalannya pesta demokrasi serentak 2024,” imbuh Usman.
Usman menyebut, putusan dinilai masyarakat sipil sebagai upaya memuluskan jalan dinasti politik di Indonesia agar langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024 tidak ada hambatan.
“Politik dinasti terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa statusnya sebagai anak kepala negara atau anak presiden yang sedang berkuasa,”kata dia.
“Presiden pun terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024 dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarganya,” tegas dia.