“Kita semua tentu prihatin, peristiwa itu merupakan semacam peringatan kepada semuanya, terlebih kepada NU yang banyak pesantrennya,” tutur Kiai Salam, cucu generasi Pendiri NU KH Bisri Syansuri.
Disadarinya, bagi para ulama pesantren, kini pengasuh pondok pesantren memerlukan suatu cara yang sungguh-sungguh bisa diandalkan untuk mengelola santri yang tinggal di pesantren.
Semua bisa membayangkan pondok pesantren yang jumlah santrinya sampai belasan ribu, membutuhkan perhatian serius.
“Bisa dibayangkan bagaimana mengelola dan mengawasi sekian banyak santri, ini tentu bukan hal yang mudah. Tentu, pesantren telah membuat skema, manajemen dan lain sebagainya,” tutur Kiai Salam, yang juga Wakil Ketua PWNU Jatim.
Para kiai dan ulama pesantren di PWNU Jawa Timur, khususnya pengasuh pondok pesantren, berharap, mudah-mudahan di masa yang akan datang, pesantren bisa lebih dikelola dengan baik sehingga peristiwa yang menyedihkan ini bisa dicegah agar tidak terulang lagi.
Kasus kekerasan di lembaga pendidikan agama dan keagamaan tidak bisa dibenarkan. Karena itu dibutuhkan regulasi sebagai langkah mitigasi dan antisipasi.
“Kekerasan dalam bentuk apapun dan di manapun tidak dibenarkan. Norma agama dan peraturan perundang-undangan jelas melarangnya,” tutur Kiai Salam Shohib.
Eksistensi Pesantren dan RMI
Nahdlatul Ulama (NU) dikenal memiliki jumlah pesantren terbanyak dibanding ormas Islam lainnya. Menurut data Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Asosiasi Pondok Pesantren di bawah naungan NU), di Jawa Timur, terdapat lebih dari 6 ribu pondok pesantren, yang dikelola dari generasi ke generasi.
Sejumlah pesantren yang berdiri lebih dari satu abad, menjadi rujukan berdirinya pesantren-pesantren di kemudian hari. Seperti Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus Situbondo, Pondok Pesantren Langitan Tuban, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruaun, Pondok Pesantren Denanyar Jombang, Pondok Pesantren Tambakberas dan Tebuireng Jombang.