Anas kemudian menceritakan kehilangan tragis ayah dan bibinya akibat serangan udara di rumah mereka di Deir el-Balah seminggu yang lalu.
Dia menggambarkan suatu malam ketika mereka tertidur lelap dan tiba-tiba sebuah ledakan besar menghancurkan kedamaian. Anas tidak dapat mengingat detail spesifiknya, kecuali kata-kata terakhir ayahnya, yang memerintahkan mereka untuk mengucapkan dua syahadat.
“Suara ayah saya perlahan menghilang, dan saya mendapati diri saya terkubur di bawah puing-puing dan debu. Saya telepon ayah saya, tapi dia tidak menjawab,” kata Anas.
“Saya tahu dia mungkin dibunuh,” imbuhnya.
Saat dia berbicara, ia memperlihatkan banyak memar dan luka di punggungnya. Keluarga itu terjebak di bawah reruntuhan selama beberapa waktu sebelum diselamatkan.
“Adikku juga menderita luka punggung yang parah, membuatnya tidak bisa berjalan, dan ibuku masih di rumah sakit setelah kakinya terluka.”
Anas berharap perang segera berakhir, namun dia tidak punya keinginan untuk kembali ke kehidupan normal.
“Tidak ada kehidupan,” katanya tegas.
Unit kesehatan mental rumah sakit telah membuat komitmen khusus untuk mendukung anak-anak ini, kata Abushawish. Banyak di antara mereka yang mempunyai kerabat yang terluka atau meninggal, atau menjadi pengungsi dan kini berlindung di rumah sakit, yang semuanya berdampak signifikan terhadap kesejahteraan psikologis mereka, tambahnya.
Abushawish mengatakan, anak-anak tersebut juga menderita gejala psikologis dan fisik yang menyedihkan akibat trauma tersebut.
“Gejala-gejala ini, seperti sakit perut, sakit kepala, sakit kaki, buang air kecil yang tidak disengaja, dan detak jantung yang cepat, adalah akibat langsung dari pemboman yang tiada henti di Jalur Gaza,” katanya.