Aulanews.id – Presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pemilu 2024 nanti diharapkan memberikan ruang dan dukungan penuh kepada komunitas sains untuk mengembangkan riset dan inovasi. Hal itu terutama dalam mendukung kedaulatan pangan untuk transformasi sistem pangan Indonesia demi menekan angka tengkes dan menyelamatkan kualitas bonus demografi.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Daniel Murdiyarso menilai, pemerintahan lima tahun terakhir tidak terlalu sensitif terhadap pentingnya mempertimbangkan penelitian sebagai dasar pembuatan kebijakan. Selain itu, dukungan dana untuk penelitian juga belum menjadi prioritas pemerintah.
”Lima tahun ke belakang ini komunitas sains merasa tidak mendapat tempat, bukan karena suaranya tidak didengar saja, tetapi untuk menghasilkan sains yang baik pun pemerintah tidak menginvestasi yang cukup. Jadi, bujet penelitian kita itu sangat rendah, 0,7 persen dari bujet APBN kita,” kata Daniel dalam diskusi yang digelar AIPI di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Guru Besar IPB University ini berharap, pemerintah selanjutnya bisa memberikan perhatian lebih kepada sains. Ia mengatakan, pemanfaatan penelitian berbasis sains yang terukur akan membuat kebijakan yang dibuat pemerintah berbuah baik bagi masyarakat.
”Kita tidak tahu pemerintah yang baru nanti sensitif atau tidak terhadap kritik, angka, data baru, apakah (mereka) akan akomodatif dan lapang dada agar sains bisa mewarnai kebijakan kita,” ucapnya.
Anggota Komisi Ilmu Rekayasa AIPI, Antonius Suwanto, mencontohkan, Pemerintah Korea Selatan bisa totalitas meneliti pengembangan fermentasi makanan kimchi yang kini disebut sebagai salah satu makanan sehat yang mendunia.
”Kita ada tempe, tetapi tidak punya yang khusus untuk meneliti sampai menjadi seperti itu (kimchi). Jadi, perlu kita melihat wisdom yang ada,” kata Antonius.
Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB University ini menegaskan bahwa pemerintah perlu memberdayakan pangan lokal untuk ketahanan pangan. Caranya, dimulai dari menghargai adat dan budaya lokal, lalu membuatnya menarik dan tersedia setiap saat dengan inovasi teknologi, serta didukung peraturan yang meningkatkan nilainya.
”Kadang-kadang peraturan pemerintah ini justru menghambat sesuatu yang mungkin itu penting,” ucapnya.
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI, Melani Budianta, menambahkan, kebijakan tanpa berdasarkan sains telah mereduksi keragaman pangan lokal sekaligus kebudayaannya. Lahan desa atau komunitas adat dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, seperti kelapa sawit, sehingga budaya masyarakat berubah, generasi mudanya banyak pergi ke kota dan tidak lagi melanjutkan kebudayaan pangan lokal.