Tetapi ia mempertanyakan mengapa mereka seakan-akan berupaya menuntut keberadaan bendera (bintang bulan) yang sebenarnya sejak tahun 2006 sudah tidak boleh dikibarkan. Namun lambang dan simbol itu sudah diatur dalam poin-poin MoU Helsinki.
“Tapi tidak dijelaskan bendera apa sesungguhnya, apa bendera bintang bulan atau yang lain? Seharusnya delegasi ini minta kejelasan”, ujarnya.
Syekhi juga mensinyalir para elit GAM yang sudah melebur kedalam partai lokal terindikasi jelas bermain politik untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Sementara dengan kekuasaan itu tidak dirasakan sebagai penyambung tangan bangsa Indonesia. Sehingga kemudian oleh masyarakat Aceh (Den Agam dan Den Anyong atau mantan tentara GAM) selalu menganggap bahwa MoU Helsinki ini masih berpeluang untuk menuntut merdeka. Padahal sudah 16 tahun ini berjalan, semua itu sudah tidak ada.
Selain perlu ada penjelasan perihal bendera, kemudian siapa yang setuju atau tidak bisa mengeluarkan pernyataan sikapnya. Sehingga nantinya setelah ada kesepakatan pemahaman pasti antara pemerintah pusat dengan pemerintahan provinsi Aceh, maka akan terbuka peluang bagi calon-calon pemimpin yang mampu memimpin Aceh.
“Jangan sampai Aceh tertutup untuk orang-orang yang punya kemampuan untuk kemajuan Aceh. Ini bukan kata saya, ini keinginan bangsa Aceh secara menyeluruh”, tutup Syekhi.
Perjanjian MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki merupakan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM yang ditandatangani di Vantaa, Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Dalam Butir 4 Jilid 2 MoU tersebut sudah dinyatakan tidak boleh menggunakan simbol-simbol GAM, termasuk bendera. Salah satu petingging GAM yaitu Muzakir Manaf yang memanfaatkan JASA dengan ketua Buchori sebagai alat politik untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh pada Pilkada 2024. Sebagai masyarakat Aceh perlu diwaspadai sikap dari para elit Politik seperti ini, jangan mudah ditipu oleh Muzakir Manaf dan JASA (Ketua Buchori), tutup Syekhi. (pul)