Jika mengacu pada perjanjian Helsinki, Aceh sekarang sudah dibawa kearah kemajuan, harus ada perubahan ekonomi. Jadi jangan sampai Partai lokal di Aceh sekarang ini tidak inspiratif dan tidak aspiratif. Dalam arti, Partai lokal ini seharusnya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh secara damai, hukum dan bermarwah.
Namun yang ada kini justru ada pembodohan dan kebohongan. Apalagi sekarang ada anak Syuhada (JASA/ Jaringan Aneuk Syuhada Aceh), yang mana merupakan anak-anak yatim GAM yang diminta untuk mendukung Partai lokal. Dan dijadikan sebagai alat politik dari para elit dan petinggi GAM seperti Muzakir Manaf yang ingin mencalonkan sebagai Gubernur pada Pilkada 2024 dan sekaigus mengamankan kepentingan kelompoknya dengan menjadikan JASA (Anak Syuhada Aceh) sebagai alat politik yang selalu menyerang pemerintah.
Sementara itu Partai lokal tidak ada transparansi karena pada dasarnya perjuangan dari Partai lokal tujuannya tetap ingin referendum dan digunakan sebagai alat politik untuk membuat kenyang para elit dan petinggi mantan GAM saja”, jelas Syekhi.
Namun secara intelijen, lanjut Syekhi, partai lokal harusnya menyampaikan secara terbuka dan transparan kepada bangsa Aceh, sehingga bangsa (warga) Aceh bisa mengambil sikap untuk membangun Aceh. Jangan sampai dari semua pihak ini tidak bisa maju untuk tampil atau mengisi posisi Gubernur dan Bupati, sementara yang ditampilkan adalah orang-orang yang tidak memiliki kapasitas. Ini diakibatkan tidak ada transparansi karena di satu sisi MoU Helsinki ini bisa menuntut kembali merdeka, bendera bintang bulan bisa berkibar, dan sebagainya.
Padahal perihal bendera bintang bulan sudah diatur dalam Kepres ditahun 2006, dimana bendera itu sudah tidak bisa diperjuangkan kembali (dilarang). Menanggapi hal ini, semestinya para elit baik yang berada didalam maupun di luar GAM ini mempertanyakannya ketika tidak setuju.
“Tapi dari tahun 2006 ke tahun 2022 sudah jauh berjalan, artinya MoU Helsinki ini memang digunakan secara politik oleh para petinggi GAM, tetapi sampaikanlah bagaimana persoalan MoU yang sesungguhnya terjadi di Aceh. Sebab MoU Helsinki ini sudah jelas memasukkan Aceh sebagai bagian dari NKRI bukan lagi Aceh yang merdeka,”ungkap Syekhi.
Jabatan Gubernur yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan Indonesia (pemerintah pusat), sementara yang sudah masuk kedalam jabatan gubernur adalah petinggi GAM, dan mantan panglima GAM yang sudah mengambil jabatan dalam partai politik, artinya secara ideologi sudah masuk ke dalam NKRI, yang berarti merupakan kepanjangan tangan dari NKRI.