Dalam kasus masalah sekolah misalnya, Adi menduga jika Gibran memarahi langsung kepala sekolah maka akan terjadi resistensi atau perlawanan. Sebab, kepala sekolah itu merasa tidak dihormati.
“Dia menjaga face atau wajah atau martabat orang yang dia sindir tapi efektif untuk menyelesaikan masalah,” tutur Adi.
Meski demikian, menurut Adi gaya komunikasi politik semacam ini memiliki kekurangan, yakni tidak terjadi dialog. Dalam kasus sekolah yang berencana menggelar simulasi PTM misalnya, tidak terjadi dialog untuk mencari solusi atas tidak diperbolehkannya pembelajaran itu.
Sementara dalam kasus pungli di Gajahan masih menjadi pertanyaan apakah tindakan Gibran tersebut berhasil menyentuh akar persoalan.
Menurut Adi, semestinya Gibran menyelesaikan hingga akar masalah dan tidak hanya menutup gejala dari masalah yang terjadi.
“Jadi seharusnya menyelesaikan akar masalah tidak hanya menutup symptom. Kayak orang sakit dokter kalau cuma dikasih obat batuk obat demam tapi ternyata Covid. Harus ketahuan apa masalahnya dan itu dipecahkan,” jelas Adi.
Adi menyebut tabiat Gibran meninggalkan mobil di tempat yang bermasalah ini menjadi gaya komunikasi yang bertolak belakang dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sering marah-marah.
Dengan gaya komunikasi simbolik semacam itu, Gibran memposisikan diri secara berbeda dari Risma dan Ahok. Gaya ini, kata Adi jua sangat efektif dalam membranding Gibran sebagai politisi baru.
“Dan dengan positioning itu orang akan lebih cepat…yang enggak marah-marah itu Mas Gibran tuh,” jelas Adi.
“Jadi menurut saya itu sangat efektif dalam positioning atau lebih tepatnya branding politik Mas Gibran,” tambahnya.
Selain itu, dengan gaya komunikasi semacam ini, dalam konteks masyarakat Solo dan Jawa Tengah yang sangat sensitif dengan budaya, Gibran lebih dihormati ketimbang Risma dan Ahok yang marah-marah.
Namun, gaya komunikasi Gibran ini belum tentu efektif jika ia terapkan di daerah lain.
“Kalau Mas Gibran begitu di Sumatera misalnya, ya mungkin tidak efektif atau di daerah lain yang budayanya enggak seperti se-high context Solo atau Jogja,” ujar Adi.