Nabila melihat, ancaman akan terus datang tak kenal lelah. Satu kekuatan dibenturkan dengan kekuatan lain. Satu golongan digesekkan dengan golongan lain, agar muncul kekacauan. Seperti upaya membakar rumah untuk membuat kegaduhan, dan orang-orang jahat berkesempatan melakukan pencurian, saat rumah itu dikepung api. “Maka wajib hukumnya bagi kita, membaca semua itu dengan cerdas,” ajaknya.
Disinilah, Nabila terundang rindu kepada Gus Dur sebagai Guru Bangsa, yang serupa bocah angon yang humoris. Gus Durlah yang menurutnya, bisa ‘Angon Angin’ sebagai avatar pengendali angin, cuaca dan anomali saat ini, di mana kekuatan elit dan oligarki setiap saat bermain menentukan pemimpin, juga masa depan negeri. Menyaksikan situasi kegamangan dan keterpecahan, maka kita butuh pemersatu bangsa, pembimbing arah dan tujuan. “Indonesia butuh pemimpin yang berwatak ‘pinandita’ sekaligus ‘kewahyon’, yang dibimbing langsung oleh Tuhan dan direstui semesta, yang nanti menjadi bocah ‘Angon Angin’ layaknya Gus Dur, yang mampu mengendalikan situasi kadya gabah den interi,” kenangnya
Dari semua harapan itulah ide dan gagasan itu, Nabila menggelar pameran ini, semacam jangka dan pandom kompas ke depan. Bahwa putus asa bukanlah pilihan, di tengah kecamuk dan sengkarut yang terjadi. Bahkan seharusnya ikut ambil bagian dari mengeja jaman, memupuk harapan, menebar energi positif lewat karya, atau dari profesi keahliannya masing-masing, sehingga kita menjadi bangsa yang tetap tangguh dan utuh di tengah gempuran berjuta persoalan. Apalagi fitnah di jaman ini, amatnya semakin hebat, ancaman untuk merobek negara kesatuan terus bekerja siang dan malam, kalau lengah, sedikit, hancurlah semuanya.