Semua itu tidak lepas dari cara pandang (mental model) beragama yang sempit, jumud dan suara kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok lain. Para pendakwah dan pengelola majelis taklim merupakan bagian dari ekosistem PMB. Mereka harus mengelola kemajemukan jama’ah. Para pendakwah dalam hal ini harus memiliki cara pandang sikap dan praktik beragama yang lebih mengedepankan esensi ajaran agama sebagaimana konsep MB. Maka, jika masih ada mental model sempit, harus diubah menjadi mental model baru (rethinking) yang lebih terbuka (inklusif).
Setelah itu, para pendakwah dan pengelola majelis taklim mendesain program (redesaining) majelis taklim dengan materi agama secara sistematis dan sistemik bermuatan nilai-nilai universal. Sebagai contoh, kajian muamalah, menjaga ukhuwah, dan bagaimana bertetangga yang baik diposisikan sebagai forum eksternum.
Muatan kajian bernuansa ketauhidan dan ubudiah yang mengandung unsur perbedaan dalam penerapan, ditempatkan sebagai forum internum. Tidak ada pemaksaan tafsir keagamaan yang bisa memecah belah umat. Apa lagi saling menghakimi kelompok lain salah dipastikan tidak ada di ruang publik (reframing). Jika para pendakwah dan pengelola majelis taklim perempuan sudah moderat, jama’ah juga moderat. Pada akhirnya tercipta harmoni Indonesia (reacting).