Masalahnya, jika pemahaman mulia ini disalahgunakan oleh oknum yang berniat jahat, maka penyelewengan terhadap kaidah ‘hormat terhadap guru’ bisa menjadi celah pelaku yang mungkin memiliki tingkat lebih tinggi karena menjadi pengajar bisa menindas sang korban.
Belum lagi jika ada ancaman terhadap keselamatan korban ataupun jika pelaku adalah orang yang terpandang di mata masyarakat dan bahkan punya kekuasaan karena nama besar dan koneksi kuat dengan para penegak hukum.
Akan menjadi kesulitan tersendiri bagi korban untuk melakukan perlawanan dan mencari perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya.
Faktor Tabu
Faktor lain yang juga menjadi celah adalah faktor tabu. Seksualitas bukanlah bab-bab yang umum dipelajari dan didiskusikan di banyak institusi pendidikan di Indonesia, termasuk di pesantren.
Bahkan di beberapa pesantren, pembicaraan terbuka mengenai seksualitas merupakan sesuatu yang dianggap tidak pantas dan berlawanan dengan nilai-nilai kesopanan dan aturan agama.
Padahal, sebagaimana kita pahami bersama, pendidikan dan edukasi mengenai seks dan seksualitas penting sekali diberikan kepada semua orang pesantren. Tidak hanya kepada para santri, namun juga segenap guru, ustaz dan ustazah, serta pimpinan pesantren.
Tujuannya jelas, agar semuaorang di pesantren punya pandangan yang sama tentang ancaman terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Apalagi pencegahan terjadinya kekerasan seksual akan lebih efektif jika dilakukan secara top-down. Karena pimpinan pesantren jauh lebih berkuasa dalam hal kebijakan dibandingkan bawahannya.
Selain itu, edukasi semacam ini juga penting dilakukan untuk membantu merumuskan tentang sikap yang harus diambil oleh masyarakat pesantren jika misalnya di kemudian hari ternyata ada kejadian kekerasan seksual di lingkungannya.
Pendampingan dan perlindungan korban adalah salah satu tindakan tegas yang harus dirumuskan. Belum lagi termasuk bantuan hukum yang perlu diberikan kepada korban, dan untuk memastikan pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.
Terakhir, faktor remeh yang sering dientengkan namun juga berpotensi menjadi pintu celah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pesantren: setting tempat dan lokasi.
Sebagaimana kita tahu, pesantren atau boarding school memungkinkan santri bertempat tinggal di asrama yang biasanya berdekatan atau bahkan menjadi satu dengan tempat tinggal guru ataupun pimpinan pesantren. Yang sering tidak disadari, setting tempat ini terkadang mengaburkan batasan kedekatan antara kedua unsur ini.