Korban kekerasan seksual di pesantren biasanya adalah santri, yang notabene merupakan posisi ‘terkecil’ dalam tingkat pesantren. Di atasnya kita ketahui ada pimpinan pesantren dan guru pesantren yang memiliki kuasa lebih tinggi dibanding santri.
Berbeda dengan institusi pendidikan lainnya, dalam pesantren memang dikenal penghormatan yang wajib dilakukan terhadap guru dan pimpinan pesantren. Hal ini karena sesuai dengan kaidah agama Islam: penghormatan terhadap ilmu merupakan keutamaan dalam agama dan termasuk bagian dari penghormatan terhadap ilmu tersebut adalah penghormatan terhadap guru sebagai pembawa ilmu itu sendiri.
Ketaatan terhadap guru sudah menjadi bagian penting dari nilai luhur yang terinternalisasi dalam denyut nadi kehidupan pesantren.
Masalahnya, jika pemahaman mulia ini disalahgunakan oleh oknum yang berniat jahat, maka penyelewengan terhadap kaidah ‘hormat terhadap guru’ bisa menjadi celah pelaku yang mungkin memiliki tingkat lebih tinggi karena menjadi pengajar bisa menindas sang korban.
Belum lagi jika ada ancaman terhadap keselamatan korban ataupun jika pelaku adalah orang yang terpandang di mata masyarakat dan bahkan punya kekuasaan karena nama besar dan koneksi kuat dengan para penegak hukum.
Akan menjadi kesulitan tersendiri bagi korban untuk melakukan perlawanan dan mencari perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya.
Faktor Tabu
Faktor lain yang juga menjadi celah adalah faktor tabu. Seksualitas bukanlah bab-bab yang umum dipelajari dan didiskusikan di banyak institusi pendidikan di Indonesia, termasuk di pesantren.
Bahkan di beberapa pesantren, pembicaraan terbuka mengenai seksualitas merupakan sesuatu yang dianggap tidak pantas dan berlawanan dengan nilai-nilai kesopanan dan aturan agama.