Aulanews.id – Sebagai seorang pengasuh pesantren, tentu saya sangat terpukul membaca pemberitaan tentang 12 orang santriwati yang diperkosa beberapa pekan yang lalu.
Hati saya miris, teringat wajah-wajah anak didik saya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku sebagai guru pendidik tega melakukan tindakan sekeji dan sebiadab itu!.
Banyak sekali pertanyaan menggelayuti benak saya terkait kasus pemerkosaan ini, seperti misalnya bagaimana bisa pemerkosaan sudah berlangsung lima tahun dan tetangga sekitar boarding school tidak ada yang curiga?.
Begitu juga dengan keluarga korban yang setiap liburan selalu bertemu para korban yang pulang ke rumah masing-masing?. Namun, biarlah saya cukupkan pertanyaan-pertanyaan itu untuk menjadi ranah kepolisian dan penyidikan.
Yang menjadi perhatian lebih dalam bagi saya di sini sebagai pengasuh pesantren adalah apa faktor yang bisa menjadi celah terjadinya kekerasan seksual di pesantren?.
Ketika memetakan faktor yang menjadi celah terjadinya kekerasan, memang akan banyak sekali muncul berbagai faktor. Sebut saja ketidaktahuan korban bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya sebenarnya termasuk kejahatan.
Korban, terutama santri di pesantren atau boarding school, umumnya adalah anak-anak usia pra remaja dan remaja. Kebanyakan di usia SMP dan SMA setara 12 hingga 17 tahun.
Anak-anak ini tidak semuanya dibekali edukasi yang baik tentang seksualitas. Beberapa di antara mereka bahkan tidak paham mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak terkait dengan sentuhan orang lain.
Faktor lain terkait santri yang menjadi korban misalnya lagi adalah faktor takut dan ketidakberanian melakukan perlawanan. Atau berani melawan, namun tidak mampu untuk melakukannya.