Dalam sebuah laporan yang mencakup Juli hingga Desember 2022, Bennett menemukan bahwa perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan mungkin sama dengan penganiayaan gender.
“Pencabutan hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan yang serius ini dan penegakan keras oleh otoritas de facto atas tindakan pembatasan mereka dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari penganiayaan gender,” ujar Bennett.
Sukarnya perubahan
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid juga mengesampingkan pertanyaan dari Associated Press tentang pembatasan pada anak perempuan dan perempuan. Menurut Mujahid, tidak ada gunanya membicarakannya, kecuali ada pembaruan.
Dalam percakapan dengan diplomat asing dan sukarelawan, Taliban biasanya menghindari menyatakan penentangan pendidikan perempuan pada prinsipnya. Kelompok yang menguasai Afghanistan ini biasanya beralasan bahwa membutuhkan lebih banyak sumber daya dan waktu untuk memungkinkan pemisahan gender di ruang kelas dan kampus universitas, sejalan dengan interpretasi mereka tentang syariah Islam.
“Semuanya akan berada di bawah pengaruh Syariah,” ujar Mujahid. Ditanya mengapa Taliban tidak mencontoh negara-negara mayoritas Muslim berbasis syariah yang mengizinkan pendidikan setinggi-tingginya untuk perempuan, Mujahid tak mau tahu. Dia mengatakan Taliban tidak membutuhkan pandangan negara lain.
Pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada dipandang sebagai kekuatan utama di balik larangan yang dikeluarkan secara tidak terduga pada Maret 2022. Mujahid mengatakan, ada ketidaksepakatan di antara ulama tentang pendidikan perempuan. Dia menjelaskan, menjaga keharmonisan di antara beberapa pihak ini lebih penting daripada mengembalikan anak perempuan dan perempuan ke ruang kelas.