Aulanews.id – Banyak kalangan yang memberikan masukan terkait pihak yang layak bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Sabtu (01/10/2022). Ada yang menyatakan bahwa pelaku layak ditindak pidana, bukan semata sanksi etik.
Pandangan tersebut antara lain disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bahwa tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang akibat kerusuhan yang dipicu tembakan gas air mata polisi bukan merupakan pelanggaran etik oleh aparat, melainkan pelanggaran pidana. Sejauh ini, Polri telah memeriksa 28 personelnya yang diduga terlibat dalam tragedi yang menewaskan sedikitnya 125 orang (data versi Polri) tersebut. Sebanyak 34 korban yang tewas di antaranya anak-anak berusia 4-17 tahun berdasarkan data Kementerian PPPA. Buntut peristiwa ini, sebagian personel telah dinonaktifkan dan dimutasi.
“ICJR menegaskan bahwa tragedi ini bukanlah bentuk pelanggaran etik, melainkan sudah memasuki ranah pidana karena jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan,” ungkap Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Rabu (04/10/2022).
“Penggunaan kekuatan berlebihan tersebut tersebut dapat terprediksi dampak fatalnya ketika dilakukan (pada) ruang dengan keterbatasan akses keluar seperti stadion,” kata dia.
Erasmus mengatakan, penggunaan kekuatan yang berlebihan yang tidak proporsional dan menyebabkan kematian sudah seharusnya diusut menggunakan jalur pidana. Polri sendiri telah mengakui dimulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP (menyebabkan kematian karena kealpaan).
“Pasal-pasal ini tentunya dapat digunakan, selain dengan Pasal 338 KUHP berkaitan dengan pembunuhan,” ujar dia.
Penggunaan kekuatan oleh aparat sebetulnya telah diatur Polri dalam regulasi internal, yakni dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009. Namun, Erasmus menilai, penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat selama ini tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian secara tegas. Tragedi Kanjuruhan dianggap harus jadi titik balik kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, alih-alih mengarahkan kesalahan personel semata pelanggaran kode etik.
“Sangat penting bagi Polri untuk dapat memeriksa kasus ini dengan imparsial dan akuntabel, walaupun aktor-aktor yang terlibat adalah bagian dari kesatuan sendiri,” kata dia. (Ful)