“Di Lampung, kita bangun itu corporate farming dengan kebun pisang skala 400 hektar. Petaninya yang terlibat hampir 1.000 orang,” jelas Teten.
Teten bercerita bahwa ekspor produk kebun pisang ini telah sampai ke Singapura, bermitra dengan eksportir, koperasi mengatur seluruh operasi bisnis. Ia mengaku pendapatan menjadi dua kali lipat.
“Sekarang di Singapura, Pisang Mas Kirana itu dari koperasi. Sejak itu para mitra petani bilang omzet nambah 2 kali lipat,” ujarnya.
Dia menyebutkan, program yang serupa akan diaplikasikan ke daerah lain di Indonesia, salah satunya di Ciwidey.
“Ada 50 pesantren di Ciwidey, itu dekat dengan daerah tinggi jadi bisa tanam banyak sayur, di sana sangat tertarik dengan produksi hortikultura. Kita bermitra dengan JICA-nya Jepang untuk membangun business model korporasi pertanian itu, sekarang kita bisa produksi melon asal pesantren Ciwidey,” sebutnya.
Teten juga menuturkan, keterlibatan koperasi mempermudah bisnis mitra petani dalam dua hal, yaitu mempermudah kredit dan menyesuaikan produksi dengan permintaan pasar.
“Dulu sebelumnya bank tidak mau memberi kredit ke petani kecil. Sekarang begitu tahu yang menjamin dan membayar adalah koperasi, mereka jadi mau. Jadi sekarang modelnya begitu, koperasi sebagai offtaker membiayai petani. Kemudian sekalian kita menaikkan batas kredit perbankan UMKM itu dari 2 persen ke 3 persen,” kata Teten.
“Lalu karena corporate farming ini modelnya menyesuaikan dengan supply and demand, jadi kita tidak ada lagi barang oversupply atau shortage. Selalu pas,” tambahnya.