Kedua, biaya perjalanan cenderung tak efisien. Pasalnya, biaya tes PCR bisa setara atau bahkan lebih mahal dari harga tiket. Niat orang untuk bepergian pun bisa dibatalkan.
Ketiga, ada hambatan durasi pemeriksaan Corona, terutama di laboratorium yang pemeriksaannya dilakukan untuk mencari kasus (surveilans).
“Kalau bicara PCR dalam konteks Indonesia ya tadi ada keterbatasan, dari sisi akses, biaya, lama pemeriksaan, dan potensi penyalahgunaan hasil juga harus ada pengawasannya,” ujar Dicky.
“Tapi bicara dari banyak sisi, kalau PCR ya bagus saya juga mendukung. Tapi, bisa berlanjut enggak, strategi itu kan yang paling baik itu aplikatif, cost-effective juga,” sambung dia.
Senada, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan tes PCR merupakan standar emas pemeriksaan Covid-19. Namun, ia mempertanyakan efektivitasnya terutama terkait kebijakan menggerakkan ekonomi warga.
“Memang syarat bepergian pakai PCR itu yang terbaik, tapi apakah itu cost effective dan cost efficient, itu harus dipikirkan lagi,” kata Miko.
Ia mencontohkan dengan harga tiket pesawat Jakarta-Lampung atau Jakarta-Padang yang rata-rata dijual mulai harga Rp500 ribu, alias tak beda jauh dengan harga tes PCR termurah.
Kebijakan pemerintah ini, lanjut dia, juga kontradiktif dengan keinginan untuk menggerakkan roda perekonomian.
“Berdasarkan pertimbangan cost efficient dan cost effective tadi mungkin dalam jarak dekat mereka enggak akan pakai pesawat atau bahkan enggak jadi pergi. Tapi ini kan kontradiktif dengan keinginan pemerintah untuk menggerakkan roda ekonomi rakyat,” tutur Miko.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan subsidi pemeriksaan PCR jika memang ingin ekonomi berjalan dan bepergian lebih aman dari Covid-19. Subsidi pemeriksaan juga bisa diberikan pada tes antigen di kereta api atau moda transportasi lainnya.
Langkah ini dinilai bisa mendorong pergerakan ekonomi di kelas bawah sekaligus membuat masyarakat lebih aman saat bepergian.
“Disubsidi lah semua pemeriksaan itu di semua moda transportasi. Jadi jangan berpikir tentang untungnya saja tapi juga harus berpikir keamanan juga,” ujarnya.
Ancaman Gelombang Ketiga
Miko menyatakan penggunaan PCR pada moda transportasi udara tak menihilkan ancaman gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi terjadi pada akhir bulan atau awal tahun ini.
Pasalnya, penerapan syarat lebih ketat di moda transportasi hanya berperan sedikit, bahkan tidak lebih dari 10 persen pada lonjakan kasus keseluruhan. Ia menyebut ancaman gelombang ketiga muncul dari aktivitas masyarakat yang berkumpul seperti di sekitar rumah, mal, dan tempat wisata.