“Yang darat tidak penting,” cetus Susi.
“Saya tidak bilang bahwa yang darat itu tidak penting,” jawab Zubairi.
Terpisah, Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menjelaskan PCR memang lebih baik dalam mendeteksi Covid-19 ketimbang antigen meski tak 100 persen akurat.
“Sebetulnya alasan ilmiah menggunakan PCR relatif kuat, hanya harus dipahami bagaimanapun PCR tetap ada bolongnya, bahkan bisa sampai 30 persen ada potensi bocornya. Artinya apa? Meski pakai PCR, risiko penularan itu tetap ada,” kata dia, Kamis (21/10) malam.
Soal nilai plusnya, Dicky menyebut potensi penularan di pesawat menurun. Kekurangannya, pertama, kebijakan itu memicu kecemburuan sosial terkait penumpang moda transportasi lain yang masih bisa menggunakan antigen.
Kedua, biaya perjalanan cenderung tak efisien. Pasalnya, biaya tes PCR bisa setara atau bahkan lebih mahal dari harga tiket. Niat orang untuk bepergian pun bisa dibatalkan.
Ketiga, ada hambatan durasi pemeriksaan Corona, terutama di laboratorium yang pemeriksaannya dilakukan untuk mencari kasus (surveilans).
“Kalau bicara PCR dalam konteks Indonesia ya tadi ada keterbatasan, dari sisi akses, biaya, lama pemeriksaan, dan potensi penyalahgunaan hasil juga harus ada pengawasannya,” ujar Dicky.
“Tapi bicara dari banyak sisi, kalau PCR ya bagus saya juga mendukung. Tapi, bisa berlanjut enggak, strategi itu kan yang paling baik itu aplikatif, cost-effective juga,” sambung dia.
Senada, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan tes PCR merupakan standar emas pemeriksaan Covid-19. Namun, ia mempertanyakan efektivitasnya terutama terkait kebijakan menggerakkan ekonomi warga.