Akan tetapi, gaji orang tuanya yang hanya F-150 sebulan mengurungkan niatnya untuk pergi ke Belanda.
Mengetahui hal itu, R.A. Kartini menuliskan surat kepada Nyonya J.H. Abendanon.
“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda ini. Kami ingin dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, ia orang Sumatera asal Riau yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS.
Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 sebulan. Tanyakan pada Hasim tentang anak muda itu. Nampaknya dia seorang pemuda yang hebat yang pantas diberi bantuan,” demikian penggalan isi surat Kartini.
Kartini sangat berharap agar beasiswa atas namanya yang tidak bisa digunakannya, diberikan kepada Agus Salim.
Namun, usulan itu tidak terwujud sama sekali. Agus Salim tetap tinggal di Indonesia dan menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Karir
Pada usia 20 tahun, ia bekerja sebagai dragoman di Konsulat Belanda, Jeddah. Di masa itu, seorang pribumi bekerja di staf konsulat di luar negeri adalah hal yang sangat langka.
Dan pada akhir tahun 1920-an, Agus Salim kembali ke Kampung Gedang dan membuka HIS partikulir, seperti dituliskan Emil Salim dalam artikel “Paatje, 111 Tahun” yang dimuat di Harian Kompas, pada tanggal 1 Oktober 1995.
Karirnya sebagai wartawan dimulai di sekitar usia 30 tahun. Ia bahkan menjadi pemimpin surat kabar Sadar.
Dalam usia 35 tahunan, Agus Salim mengikuti Kongres Sarekat Islam Nasional di Surabaya.