Aulanews.id- Seiring dengan terus meningkatnya perubahan iklim, dunia mengalami peningkatan jumlah dan intensitas bencana yang berkaitan dengan iklim dan cuaca. Negara-negara anggota PBB perlu mengembangkan tindakan mitigasi dan adaptasi yang mendesak berdasarkan proyeksi perubahan iklim yang dapat diandalkan.
Namun, memperoleh proyeksi ini dapat terbukti sulit. Model penilaian dampak perubahan iklim—cara utama untuk memperoleh estimasi dampak terkait iklim di masa mendatang—merupakan model komputasional kompleks yang memerlukan pengetahuan khusus untuk menjalankan dan menafsirkannya.
Pengetahuan khusus dan persyaratan komputasi ini jarang ditemukan di banyak wilayah dan dalam masyarakat lokal . Kurangnya penilaian dampak yang layak ini merugikan masyarakat, sehingga mereka lebih rentan terhadap perubahan iklim .
Laporan baru oleh para ilmuwan PBB mendorong komunitas aksi iklim global dan negara-negara anggota PBB untuk mempertimbangkan Kecerdasan buatan (AI) sebagai solusi yang menjanjikan untuk masalah ini. AI bersifat fleksibel, efisien secara komputasi, dan dapat dijalankan dalam layanan berbasis web dan cloud.
Karena AI terus tumbuh popularitasnya untuk berbagai aplikasi, kemungkinan besar lebih banyak orang akan segera mampu mengoperasikan dan menginterpretasikan keluaran AI daripada model penilaian dampak perubahan iklim tradisional.
Namun, AI belum sepenuhnya digunakan dalam ruang lingkup penilaian dampak perubahan iklim. Hal ini memotivasi para peneliti dari United Nations University Institute for Water, Environment and Health (UNU-INWEH) untuk menyelidiki kemampuan AI dengan melakukan penilaian dampak perubahan iklim yang cepat, fleksibel, dan andal untuk 46 kota di seluruh Amerika Serikat.
Hasil penelitian mereka menunjukkan kekuatan teknik ini untuk menggantikan metode penilaian dampak perubahan iklim konvensional di tingkat lokal yang memerlukan banyak komputasi dan memakan waktu.
“AI merupakan perangkat hebat yang digunakan di hampir setiap sektor, mulai dari pembuatan gambar hingga pengobatan. Tidak ada alasan mengapa AI tidak dapat digunakan untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim,” kata Dr. Renee Obringer, Peneliti di bidang Sistem Infrastruktur Perkotaan dan Interdependen di UNU-INWEH, yang memimpin studi ini.
Mereka melaporkan proyek-proyek yang dapat meningkatkan permintaan hingga 15% untuk air dan 20% untuk listrik di 46 kota yang dimodelkan. Kota-kota di AS bagian Barat Tengah kemungkinan akan mengalami peningkatan rata-rata penggunaan listrik sebesar 20% setelah pemanasan global melampaui 2,0°C di atas tingkat pra-industri. Untuk kota Chicago , ini setara dengan 745.000 MWh/bulan, setara dengan listrik tahunan yang digunakan oleh lebih dari 26.000 penduduk Inggris, 98.000 penduduk India, atau 292.000 penduduk Nigeria.