Dalam sejarahnya, bancik sudah ada sejak pertama kali pesantren hadir di Indonesia. Jadi tradisi bancik sudah sangat tua sekali. Dan budaya seperti ini biasanya masih dilestarikan di pondok pesantren, masjid, mushala, dan tempat-tempat yang memerlukan terjaganya kesucian khusus.
Dahulu, bancik hanya terbuat dari susunan batu kali, kemudian berkembang menjadi batu bata, dan sekarang banyak menggunakan semen dan keramik.
Dari bentuknya ada yang bulat, ada yang persegi sama sisi, persegi panjang dan tidak beraturan. Asalkan bisa muat dengan telapak kaki dan kokoh, maka sudah cukup menjadi sebuah bancik.
Dari segi fungsi yang paling penting, bancik diciptakan menghindari maksiat. Pertama maksiat ghosob (memakai sandal tanpa izin dan tidak ada niatan memilikinya). Sehingga akan menimbulkan keghosoban yang lainnya.
Kedua, menghindari dari nyeker. Karena jika para santri nyeker, kakinya menginjak tanah, maka menjadi najis. Dan ketika mereka langsung masuk kamar, masjid, dan aula tanpa mencuci kaki, maka kamarnya, masjidnya dan aulanya ikut menjadi najis.
Sehingga ketika semua menjadi najis dan digunakan untuk ibadah seperti shalat, maka shalatnya tidak sah.
Karena umumnya jika santri sandalnya hilang dan putus, dia tidak akan langsung membeli atau mengganti, justru dikhawatirkan ia akan menghosob dan nyeker, sehingga bisa menimbulkan maksiat.
Dari pemaparan diatas, fungsi yang paling penting dari budaya bancik adalah menghindari santri untuk bermaksiat. Baik bermaksiat yang berkaitan dengan kesucian ibadah, maupun maksiat yang bersifat muamalah kepada sesama manusia.