Itu disebabkan dia (mereka) sesungguhnya tidak lalai akan adanya situasi yang bisa mendatangkan risiko maut tersebut. Justru atasan para petugas itulah yang mungkin dikenai pasal kelalaian. Begitu terus proses pengusutan dilakukan hingga dari satu jenjang jabatan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Dalam konteks negligence yang sistemis, tipe contributory negligence menjadi kemungkinan yang sangat relevan untuk didalami, yakni jatuhnya korban diakibatkan kelalaian yang tidak hanya datang dari satu pihak (misalnya petugas yang saat itu berjaga), tapi juga mendapat kontribusi dari pihak-pihak lain yang juga melakukan kelalaian.
Dengan kata lain, contributory negligence ialah istilah untuk gross negligence yang datang dari kealpaan oleh sekian banyak pihak sekaligus. Pihak-pihak dimaksud melalaikan tugas atau tanggung jawab mereka, dalam bentuk kelalaian yang beragam satu sama lain, sehingga situasi berbahaya sesungguhnya semakin dimapankan pihak-pihak di dalam sistem (institusi) tersebut.
Kemungkinan kebakaran dan jatuh korban di LP Kelas 1 Tangerang disebabkan contributory negligence inilah yang perlu diurai secara terstruktur oleh kepolisian. Tentunya dimulai dari level petugas LP selaku pihak di titik terbawah dalam sistem organisasi Kemenkum dan HAM itu sendiri.
Penjelasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahwa tragedi di LP Kelas 1 Tangerang (diduga) bersumber dari instalasi listrik setempat yang tidak dibenahi selama berpuluh-puluh tahun, sudah memberikan indikasi kuat bahwa malapetaka tersebut merupakan contributory negligence. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana dan organisasi–bahkan konsekuensi pada level pemerintahan (kabinet)– semestinya dimintakan tidak kepada satu pihak saja (petugas LP) yang saat itu tengah bertugas.