Aulanews.id – Lumpia merupakan hidangan favorit banyak orang. Makanan satu ini terbuat dari campuran rebung, telur, dan daging dimasak dengan bumbu dan dibungkus dengan kulit lumpia. Hidangan ini biasanya disajikan dengan tambahan saus, cabe rawit, daun bawang, dan juga acar.
Dilansir dari laman Perpusnas, kuliner khas Semarang ini merupakan hasil akulturasi Jawa-Tionghoa. Pada abad ke-19, Tjoa Thay Joe, seorang pendatang dari Fujian, memutuskan untuk tinggal di Semarang dan membuka bisnis kuliner khas Tionghoa dengan isian babi dan rebung.
Ia kemudian bertemu dengan Mbak Wasi, orang asli Jawa yang menjual makanan yang hampir mirip, hanya saja rasanya lebih manis dengan isian udang dan kentang.
Seiring berjalannya waktu akhirnya mereka menikah dan membuka bisnis kuliner perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa.
Nama lumpia berasal dari gabungan kata dalam bahasa Jawa dan Hokkien. ‘Lun’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti gulung dan ‘pia’ dalam bahasa Hokkien yang berarti kue.
Lumpia awalnya berisi daging babi, tetapi karena akulturasi isian lumpia dimodifikasi menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung dan dibungkus dengan kulit lumpia.
Hasil modifikasi ini justru menghasilkan cita rasa yang khas, di mana telur dan udang tidak terasa amis, rebung memiliki cita rasa manis, dan kulit lumpia menjadi renyah dan gurih.
Jajanan ini dulunya dijual di Olympia Park atau pasar malam Belanda dengan nama lumpia. Karena kelezatannya, lumpia kini menjadi hidangan populer hingga saat ini. Sejak tahun 2004, Lumpia Semarang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Lumpia atau dalam sebutan China, chun juan, juga memiliki makna harapan akan kemakmuran dan kekayaan, karena bentuk lumpia yang menyerupai emas batangan.
Dibuat dengan isian sayuran, daging bahkan makanan manis, lumpia kemudian dibungkus dengan kulit lumpia tipis dan digoreng hingga kuning keemasan. Inilah mengapa orang Tiongkok menyebut lumpia adalah makanan yang bisa mendatangkan kemakmuran dan kekayaan.