Dalam periode tersebut, pembahasan RUU PKS ditentang sebagian kelompok masyarakat, terutama yang berafiliasi dengan ormas keagamaan oposisi akibat serangan hoaks legalisasi zina dan LGBT pada 2019.
“Sekarang ini di DPR ada RUU PKS yang artinya perlindungan terhadap kekerasan seksual,” kata Rhoma kepada para peserta kampanye, 31 Maret 2019.
“Mau tahu isinya? Selama suka sama suka, artinya laki-laki boleh berzina dengan perempuan. Selama suka sama suka bahkan laki-laki boleh kawin sama laki-laki,” ujar Ketua Umum Partai Idaman ini.
Alih-alih disahkan, Komisi VIII DPR justru mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020. Keputusan ini mengundang protes dari kelompok masyarakat, termasuk beberapa fraksi di DPR, yakni Nasdem, Golkar, dan PDI Perjuangan. Fraksi Nasdem mengaku kecewa dengan keputusan itu.
“Kami harap dukungan fraksi-fraksi lain agar di paripurna kita bisa lakukan penyesuaian terhadap prolegnas ini agar RUU yang memang sudah jadi amanah bagi kita melanjutkannya, bisa kita lakukan kembali,” ujar Taufik.
Guru Besar Kajian Gender dan Studi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila membeberkan penyebab RUU PKS sukar disahkan.
Nina mengatakan penolakan terhadap RUU PKS dilakukan oleh kelompok konservatif yang masih menganggap RUU itu melegalkan perzinaan. Menurutnya, mereka begitu militan dan piawai menggunakan media sosial dan menyebarkan hoaks guna membangun wacana tandingan RUU PKS.
“Mereka juga merekrut anak muda, mempengaruhi mereka dan melakukan kontra narasi dengan menggunakan berbagai media untuk menentang ide-ide progresif,” kata Nina, Jumat 11 Desember 2020 lalu.