Seiring sosialisasi UU pesantren ini, Ghofarozzin menepis sementara anggapan bahwa melalui UU pesantren ini pemerintah bermaksud mengintervensi kebijakan dan sistem pendidikan di pesantren.
“Gagasan untuk menerbitkan Undang-Undang ini sudah lama dilakukan pengelola pesantren sejak 2013, sehingga bukan merupakan hadiah pemerintah,” jelasnya.
Pesantren, katanya, dinilai sebagai lembaga pendidikan khas yang sudah muncul jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri. Jumlah pesantren juga terus bertambah hingga mencapai 35.000 buah dengan sembilan juta santri pada 2022 sehingga wajar jika pemerintah menerbitkan UU yang khusus bagi pendidikan di pesantren.
“Kalau sekedar pengaturan melalui Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak cukup bagi pesantren, sehingga perlu Undang-Undang tersendiri,” terangnya.
Melalui UU ini, lanjut ,Ghofarozzin, tradisi keilmuan di pesantren tetap dijaga, otoritas kepemimpinan oleh ulama, kyai juga tetap diterapkan. Selain itu, fungsi pesantren dikembalikan sebagainya awalnya selain sebagai lembaga pendidikan, juga sebagai lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat.
“Karena fungsinya ini menang sudah ada sejak dulu,” tandasnya
Nara sumber lainnya, anggota Majelis Masyayikh Pusat Dr Hj Amrah Kasim berharap setiap pesantren memiliki Majelis Masyayikh.
“Lembaga ini bersifat independen yang kalau bagi kalangan lembaga pendidikan tinggi formal perannya mungkin mirip seperti Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT),” pungkasnya.Dy