Aulanews.id – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan judicial review (JR) atau uji materiil terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur cara penghitungan kuota minimal calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Putusan MA dengan perkara nomor 24 P/HUM/2024 itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Irfan Fachruddin bersama dua Anggota Majelis Hakim, Cerah Bangun dan Yodi Martono.
“Amar putusan: kabul permohonan keberatan,” demikian keterangan dalam putusan tersebut, dikutip dari website resmi milik MA, Rabu (30/8/2023).
Dalam perkara ini, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari sebagai pihak termohon.
Ilustrasi perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)
Sebelumnya, sekelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan permohonan uji materiil terkait Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Dalam aturan itu, dijelaskan mengenai cara menghitung kuota minimal 30 persen caleg perempuan dengan diberlakukan pembulatan yang dihitung secara matematika.
Apabila angka pecahan di belakang koma lebih dari lima, maka dibulatkan ke atas, sedangkan apabila kurang dari lima, maka dibulatkan ke bawah. Contohnya, apabila di sebuah dapil terdapat delapan alokasi kursi, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Dari angka itu, karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
“Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah;
b. 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan keatas,” demikian bunyi Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)
Dalam petitum perkara itu, pemohon menilai, Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Selain itu, aturan keterwakilan caleg perempuan itu juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women).
Oleh karena itu, para pemohon meminta agar pasal itu diganti dan dimaknai, ‘Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan keatas’ sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi Pasal 8 Ayat 2: ‘Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.’ (Mg06)