“Kami terus memberikan dukungan logistik, termasuk akomodasi, pengaturan perjalanan, dan manajemen data, memastikan kelancaran penerimaan di negara ini dan kemudian memfasilitasi langkah-langkah untuk inklusi dalam masyarakat Brasil,” katanya.
Sifat komprehensif dari operasi ini juga mencerminkan komitmen Brazil yang lebih luas terhadap inklusi dan perlindungan sosial, menurut Cinthia Miranda, koordinator umum keadaan darurat di Sistem Bantuan Sosial Terpadu Brazil, atau SUAS.
“Pemerintah Brasil mempunyai salah satu undang-undang paling progresif di dunia dalam hal menyambut migran,” katanya.
“Kami percaya pada upaya memerangi kemiskinan dan kerentanan, dan kami bangga menjadi negara teladan bagi dunia dalam menjamin hak-hak. Melalui operasi ini, kami bertujuan untuk menunjukkan semangat kemanusiaan dan keramahan Brasil”, tambahnya.
Nura Yassine dari Brasil (kedua dari kanan) yang tinggal di Lebanon selama 16 tahun, berkumpul kembali dengan keluarganya di Brasil
Lebanon “tanpa suara pesawat tempur”Penerbangan tersebut menandai titik balik bagi individu seperti Nura Yassine, seorang warga Brasil yang telah menghabiskan 16 tahun di Lebanon. Berkaca pada pengalamannya, ia menggambarkan perang sebagai sumber ketakutan dan kesusahan yang terus-menerus.
“Perang menimbulkan banyak ketakutan dan pikiran negatif,” katanya. “Saya lega berada di Brazil dan berharap suatu hari bisa kembali ke Lebanon tanpa suara pesawat tempur.”
Sebagai inisiatif repatriasi terbesar warga Brasil dari zona konflik, Operasi Cedar Roots menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dalam mengatasi krisis kemanusiaan.
Ibu Miranda menekankan bahwa inisiatif ini melibatkan “banyak pihak,” termasuk berbagai kementerian, badan-badan PBB, dan organisasi masyarakat sipil, dan, khususnya, diaspora Arab-Lebanon.